NIAS.WAHANANEWS.CO, JAKARTA - Gelombang digitalisasi kini merambah dunia pendidikan. Koding dan kecerdasan artifisial (KA) atau yang sering disebut Artificial Intelligence (AI) mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah sebagai keterampilan abad 21.
Di kota besar, hal ini disambut dengan fasilitas memadai. Anak-anak akrab dengan komputer dan gawai canggih yang setiap hari digunakan dalam pembelajaran.
Baca Juga:
8 Fokus Program RKP Prabowo 2025: Naikkan Gaji ASN Guru, TNI-Polri, Pejabat Negara
Namun di Pulau Nias, cerita itu berbeda. Infrastruktur internet belum merata, perangkat terbatas, dan guru pun masih banyak yang beradaptasi dengan kurikulum baru.
Lantas pertanyaan pun muncul, mungkinkah pelajar di daerah 3T seperti Pulau Nias bisa mempelajari koding dan kecerdasan artifisial sebagaimana teman-teman mereka di perkotaan yang memiliki fasilitas lengkap?
Seorang pendidik asal Nias, Feberman Telaumbanua, justru melihat keterbatasan itu sebagai ruang untuk berinovasi.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Ia percaya bahwa koding dan kecerdasan artifisial tidak harus selalu diajarkan dengan perangkat canggih. Baginya, yang lebih penting adalah menanamkan pola pikir logis pada anak sejak dini.
“Koding tidak selalu dimulai dari laptop atau komputer. Anak-anak bisa belajar berpikir logis lewat permainan, cerita, bahkan pengalaman sehari-hari. Itu yang saya sebut cara kreatif belajar digital,” ujar Feberman kepada wartawan di Jakarta, Rabu (24/9/2025) pagi.
Menurutnya, kecerdasan artifisial bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Justru, teknologi ini membuka ruang baru dalam dunia pendidikan, asalkan digunakan dengan bijak dan dikenalkan secara tepat kepada peserta didik.
“AI jangan dilihat hanya sebagai teknologi rumit. Yang utama adalah bagaimana kita menggunakannya untuk melatih logika dan kreativitas anak. Itu yang harus diperkenalkan sejak dini,” katanya.
Di sekolah tempat ia mengajar, Feberman kerap memanfaatkan kegiatan sederhana untuk menanamkan konsep koding.
Ia pernah meminta siswa menyusun langkah-langkah menyiapkan sarapan atau permainan tradisional seperti engklek sebagai simulasi algoritma. Anak-anak belajar bahwa setiap langkah harus urut dan logis agar tujuan tercapai, persis seperti logika pemrograman komputer.
“Kalau pola pikir logis sudah terbentuk, teknologi secanggih apa pun nanti akan lebih mudah dipelajari. Anak-anak di pulau Nias punya potensi yang sama, tinggal bagaimana kita mengarahkan mereka dengan cara yang kreatif,” ungkapnya penuh keyakinan.
Gagasan ini sejalan dengan semangat kesetaraan yang selalu ia dorong. Feberman percaya, anak-anak di daerah 3T seperti Pulau Nias berhak memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal koding dan kecerdasan artifisial, meski tidak memiliki perangkat sebaik pelajar di kota.
“Kesetaraan dalam pendidikan digital penting. Anak-anak di kota dan di pulau harus sama-sama bisa belajar koding dan AI. Bedanya hanya di fasilitas, tapi pola pikir bisa dibentuk di mana saja,” kata Feberman.
Optimisme yang ia bawa tidak datang begitu saja. Feberman telah menunjukkan kiprahnya di berbagai ajang. Ia pernah meraih nominasi Guru Kreatif Acer Smart School 2024, penulis buku pendamping siswa Koding dan KA, serta masuk dalam sepuluh besar Guru Inovatif Kategori SD Jambore GTK DKI Jakarta.
Ia juga dikenal sebagai Sahabat Teknologi DKI Jakarta 2024, Scratcher Edukator, hingga peraih juara pertama Lomba Video Kreatif Pengajar Merdeka Gemilang.
Kiprahnya kian nyata dari undangan yang kerap ia terima sebagai pembicara atau narasumber di berbagai forum, khususnya terkait topik koding dan kecerdasan artifisial.
Tidak berhenti di sana, Feberman juga dinobatkan sebagai Peserta Favorit dalam ajang berbagi praktik baik di Guru Mengajar dan Diklatmandiri.id, serta aktif menulis di Surat Kabar Guru Belajar.
Semua pencapaian ini menunjukkan bahwa gagasan yang ia sampaikan berakar dari pengalaman nyata sebagai pendidik yang terus berinovasi.
Bagi Feberman, masa depan pendidikan digital di Nias bukanlah hal yang mustahil. Selama guru dan pelajar mau membuka diri dengan cara kreatif, maka keterbatasan bukan lagi penghalang.
“Saya yakin, dari Nias juga bisa lahir anak-anak yang menguasai koding dan kecerdasan artifisial. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mencoba dan kesediaan untuk berinovasi,” ujarnya menutup perbincangan.
Optimisme itu kini menjadi energi baru. Dari Pulau Nias, Feberman menunjukkan bahwa pendidikan digital tidak hanya milik kota besar.
Dengan cara kreatif, ia membuktikan bahwa pelajar di kepulauan pun dapat melangkah sejajar menghadapi tantangan era digital. [CKZ]