WahanaNews-Nias | Dari kunjungan selama lima hari di Kepulauan Nias, Trie Utami yang datang ke Nias atas undangan Universitas Nias (UNIAS) menyatakan keterkejutan dan rasa kagumnya terhadap kekayaan yang dimiliki Nias, terutama dalam hal budaya.
Menurutnya selama ini orang di luar Nias hanya mengenal Nias pada potensi lompat batu Desa Bawomataluwo, dan mungkin sedikit informasi tentang rumah adat Nias yang anti gempa, inipun juga tidak banyak yang tahu.
Baca Juga:
Sambangi DPC HIMNI, Walkot Sowa'a Laoli Ajak Bergandengan Tangan Bangun Gunungsitoli
"Saya melihat sendiri ternyata budaya Nias sangat kaya, dan sangat spesifik. Tidak ada di daerah lain yang menyamai. Sayangnya dunia belum tahu, bahkan orang Indonesia pun minim pengetahuan tentang Nias," kata Trie Utami di sela-sela kegiatan Wisuda Perdana Universitas Nias, Sabtu 10 Desember 2022, di Gedung STT Sunderman, Gunungsitoli.
Ia menambahkan, bahwa budaya Nias adalah "harta karun", yang akan menjadi potensi sangat besar apabila bisa dibangun sinergitas antar pihak, untuk bisa memetakannya, membuatnya menjadi database, dan merancang serta membuat roadmap langkah-langkah terstruktur dengan indikator keberhasilan yang jelas dalam pengelolaan dan pengembangannya.
Pelestarian Tradisi Tutur
Baca Juga:
Peringatan HPN 2024, Andhika Laoly Ajak Insan Pers Suarakan Kebenaran dan Kawal Demokrasi
Trie Utami hadir di Gunungsitoli sejak hari Rabu, 7 Desember 2022. Bersama band Melody Music, musisi-musisi muda Gunungsitoli, dan Paduan Suara Universitas Nias, Trie Utami berlatih bersama untuk membawakan dua lagunya, "Sekitar Kita" (Krakatau Band) dan "Satria Indonesia" (Rumpies), serta sebuah lagu tradisional Nias "Nagoyo Manase", yang di-aransemen oleh Band Melody Music dengan warna musik kontemporer kolaborasi musik modern, musik tradisional, dan musikalisasi tradisi tutur Nias.
Tradisi tutur Nias yang dimainkan adalah Fanguhugo, Hendri-hendri, Hiwo, Bolihae dan Fangowai, dibawakan oleh Pariman Waruwu, penutur Nias dan pegiat budaya dari Desa Tumori, Gunungsitoli Barat, Gunungsitoli. Tradisi tutur ini diselipkan di awal lagu, di tengah lagu, dan di akhir lagu. "Musik tradisional Nias, dan musikalisasi tradisi tutur, ternyata sangat mengesankan ketika dikemas sebagai musik kontemporer. Para musisi menyebut model seperti ini sebagai genre World Music," ujar Trie Utami.
"Saya dengar tradisi tutur Nias kurang diminati oleh anak muda. Melalui bentuk musikalisasi tradisi tutur ini akan memancing anak-anak muda untuk menyukai dan mempelajari tradisi tutur Nias, agar tidak punah," lanjutnya.
Trie Utami saat mengahdiri Pelantikan DPDK HIMNI Sekepulauan Nias. (Foto/Ist)
Selain tampil untuk acara wisuda UNIAS, Trie Utami juga memberikan kuliah umum dengan tema "Pengarusutamaan Kebudayaan dalam Pembangunan Nias Melalui Dunia Pendidikan", yang diikuti oleh dosen dan mahasiswa Universitas Nias pada hari Kamis, 8 Desember 2022, di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Nias.
Setelah acara kuliah umum, Trie Utami melakukan kunjungan ke Desa Hilimondregeraya, Kecamatan Onolalu, Nias Selatan, dan singgah sejenak di rest area Puncakku, di Desa Hilisatoro, Kecamatan Toma, Nias Selatan, untuk menyaksikan tarian, minum es kelapa muda, dan memberi, motivasi kepada beberapa kepala desa dan pelaku budaya di Kecamatan Toma.
Rumah Adat Nias di Denmark
Di Desa Hilimondregeraya, Kecamatan Onolalu, Nias Selatan, Trie Utami hadir bersama sang suami, Rully Fabrian, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Komisi E, Penyabar Nakhe, Perkumpulan HIDORA - Hiduplah Indonesia Raya, pegiat pariwisata dan budaya dari Banyuwangi, Bachtiar Djanan, Dosen Fakultas Ekonomi Unias, Parlindungan Lahago, Man Harefa, pencipta lagu-lagu Nias dan musisi Nias, dosen Ethnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Brian Harefa.
Kehadiran rombongan di desa ini disambut hangat oleh Camat Onolalu, Darnis Harita, Kepala Desa Hilimondregeraya, Sabata Laia dan beberapa tokoh adat dan para pelaku budaya setempat. Tarian ucapan selamat datang Maena Fame Afo Dome dan Fame Tanda Sinoro Todo Kho Dome dimainkan oleh Sanggar Kurusi Batu pimpinan Dismas Harita untuk menyambut para tamu.
Desa Hilimondregeraya merupakan salah satu desa tertua di Nias Selatan, konon bahkan lebih tua dari Desa Bawomataluwo. Yang menarik, pada tahun 1927 sebuah rumah adat di desa ini dibeli oleh Dr. A.G. Moller, seorang dokter berkebangsaan Denmark yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda di sana, dan rumah adat itu dibangun kembali di Denmark, dan saat ini telah dihibahkan pada museum di Denmark. Pada saat itu rumah adat yang dibangun pada tahun 1860 tersebut sudah rusak dan hampir ambruk, karena ketidaksanggupan pemeliharaan dari pemilik rumah. Putri pemilik rumah bernama Zoeri Saromaha juga dinikahi oleh Dr. A.G. Moller.
Setelah mengunjungi beberapa obyek budaya seperti pemandian kuno, melihat lebih dari 70 rumah adat yang masih berdiri kokoh, dan peninggalan-peninggalan kuno seperti kursi batu dan ukiran buaya, rombongan berdiskusi dengan Kepala Desa, Camat, tokoh adat, dan sanggar seni budaya.
Dalam diskusi ini Sabata Laia, Kepala Desa Hilimondregeraya menyampaikan kondisi bahwa kelemahan utama desa ini adalah akses menuju desa yang jalannya rusak cukup parah.
"Di desa ini belum ada SMA, sehingga para pelajar SMA harus menempuh perjalanan sejauh 8 km ke kota Teluk Dalam untuk sekolah, dengan kondisi jalan yang rusak parah di banyak titik," ucap Sabata Laia.
Trie Utami disambut di Desa Hilimondregeraya Nias Selatan. (Foto/Ist)
Camat Onolalu , Darnis Harita, menambahkan jalan ini dulu mulai rusak sekitar tahun 2010-1011.
“Dulu sesekali sudah ada turis mancanegara datang ke desa ini, namun seiring kerusakan jalan yang makin parah, maka kunjungan wisata pun menghilang,” kata Darnis Harita.
Menanggapi cerita tentang kondisi desa, Trie Utami mengatakan agar pemerintah di kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat "mendengar" keluhan warga desa, pemerintah desa dan stakeholders terkait harus bersinergi bersama, dan "membunyikan" potensi luar biasa dan masalah yang ada di desa, warga harus punya data yang komplit tentang potensi budaya desa yang sebetulnya sangat kaya ini.
"Bagi saya desa ini adalah oase kebudayaan yang sangat luar biasa, yang harus dijaga oleh warganya sendiri. Saya titip pada warga dan anak-anak muda, jangan sampai potensi budaya yang ada ini hilang, saya berharap anak cucu saya suatu saat kelak tetap dapat melihat potensi budaya yang hari ini ada. Dan saya akan membantu menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan warga ini ke pihak-pihak terkait," ujar Trie Utami.
Komitmen Bupati Nias Selatan Membangun Jalan
Dari Desa Hilimondregeraya, rombongan Trie Utami bergerak menuju Kafe Titik Temu di Teluk Dalam untuk makan malam. Di Kafe Titik Temu, sudah hadir Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha, dan Ketua DPRD Nias Selatan, Elisati Halawa. Terjadilah diskusi yang menarik sembari acara makan malam.
Setelah makan malam, Trie Utami "ditodong" untuk menyumbangkan suara emasnya, menyanyi di stage live music. Trie Utami hadir ke panggung dan membawakanlagu "Esok Kan Masih Ada" (karya Utha Likumahuwa) dengan diiringi band setempat yang berkolaborasi dengan Brian Harefa, musisi multitalenta dari Nias yang kini menjadi dosen di Prodi Ethnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
Setelah menyanyi satu lagu, Trie Utami menyampaikan testimoninya tentang oase kebudayaan yang ia jumpai di Desa Hilimondregeraya, sekaligus menyampaikan aspirasi dari Kepala Desa dan Camat, tentang kondisi akses jalan yang buruk, dan membuat orang merasa seperti di-kocok-kocok.
"Desa Hilimondregeraya sangat indah, namun perjalanan ke sana seperti ibaratnya obat batuk, kocok dulu sebelum diminum," kata Trie Utami yang disambut tawa dari pengunjung kafe.
Menanggapi testimoni dan aspirasi yang disampaikan oleh Trie Utami, spontan Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha, menyampaikan melalui Penyabar Nakhe, bahwa malam itu juga Bupati memutuskan untuk membangun akses jalan menuju desa untuk anggaran tahun 2023 yang akan datang.
Penyabar Nakhe menyampaikan pesan Bupati kepada Trie Utami, dan spontan disampaikan oleh Trie Utami pada publik bahwa Bapak Bupati berkomitmen untuk membangun jalan menuju Desa Hilimondregeraya, yang langsung disambut tepuk tangan meriah oleh pengunjung yang hadir.
"Terima kasih, Bapak Bupati baru saja berkomitmen untuk membangun jalan ke desa di tahun depan, saya akan pantau terus perkembangannya”,
“Dan pesan saya kepada Camat dan Kepala Desa, setelah saya menyampaikan aspirasi yang direspon sangat positif oleh Bupati yang sudah mau berkomitmen, saya minta Kepala Desa dan Camat juga berkomitmen untuk menggerakkan komponen desa melakukan pendataan potensi budaya, sekaligus melestarikannya," sambung Trie Utami, yang kemudian memberi bonus menyanyikan sebuah lagu lagi sebagai apresiasi atas komitmen Bupati, camat, dan kepala desa.
Kanal Kerja Budaya
Keesokan harinya, pada hari Jumat, 9 Desember 2022, Trie Utami menghadiri kegiatan Pelantikan Dewan Pengurus Daerah Khusus dan Dewan Pengurus Cabang Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) Kepulauan Nias periode 2022-2026. Dalam kegiatan pelantikan ini juga diisi dengan acara pentas tari tradisional dan pemberian penghargaan pada tiga orang pencipta lagu legendaris Nias (Man Harefa, Fatih Zebua, dan Arisman Zagoto), penghargaan pada tujuh orang olahragawan berprestasi, dan penghargaan pada dua orang pegiat pelestarian mangrove, oleh pengurus HIMNI Kepulauan Nias.
Pada acara yang dilaksanakan di De'Pakar Resto, Gunungsitoli, Trie Utami diminta untuk menyanyikan sebuah lagu "Mungkinkah Terjadi" (Trie Utami dan Utha Likumahuwa). Dalam membawakan lagu ini, vokalis kaliber internasional kelahiran Bandung ini menyelipkan narasi pengalamannya selama beberapa hari berkegiatan di Nias.
Diceritakannya saat pertama kali berkunjung ke Nias Selatan 30 tahun lalu yang harus menempuh waktu 7 jam dari Gunungsitoli, dan hari ini bisa ditempuh dalam 2 jam. Dan di Nias Selatan ia menemukan oase kebudayaan bernama Desa Hilimondregeraya.
"Desa-desa berbasis budaya adalah source of value dan source of knowledge, sebagai identitas orang Nias yang bisa ditunjukkan pada dunia. Ini adalah pintu pembuka bagi diri saya untuk kerja-kerja budaya, yang bila diijinkan, saya ingin menemani orang-orang Nias dalam proses ini," ucapnya yang disambut tepuk tangan dari ratusan audiens yang hadir.
Kemudian melanjutkan narasinya, ia berharap HIMNI bisa menjadi salah satu kanal untuk kerja budaya yang kongkrit dan riil memberi manfaat bagi masyarakat Nias, dan bagi Indonesia.
“Terima kasih Nias, begitu banyak hal yang sangat mengesankan selama saya berkegiatan di sini dalam beberapa hari,” ucapnya.
Rumah Adat Tersisa
Setelah tampil bersama Band Melody Music dan Paduan Suara Unias pada acara Wisuda Perdana Universitas Nias di hari Sabtu, 10 Desember 2022, sore harinya Trie Utami berkesempatan untuk berkunjung ke Desa Tumori, Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, sebuah desa adat yang bisa ditempuh dalam waktu hanya sekitar 20 menit dari pusat kota Gunungsitoli.
Trie Utami dalam kunjungannya di Desa Tumori, Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli. (Foto/Ist)
Di Desa Tumori, Trie Utami hadir bersama sang suami, Rully Fabrian, Wakil Ketua Perkumpulan Hidora - Hiduplah Indonesia Raya, Bachtiar Djanan, Dosen Fakultas Ekonomi UNIAS, Parlindungan Lahago dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Penyabar Nakhe.
Di Sekretariat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Afore Desa Tumori, rombongan disambut hangat oleh Pj. Kepala Desa Tumori, Albert Rahmat Zebua, tokoh budaya sekaligus Ketua Pokdarwis, Faduhusi Zebua, pelaku budaya dan Ketua Sanggar Holy Teturia, Pariman Waruwu, pelaku budaya , Fajar N Zebua, Sekretaris Desa, Sini Zebua dan Kepala Dusun I, Yurlinus Zebua.
Rombongan diterima dengan penyambutan adat sederhana Fangowai (tuturan adat Nias ucapan selamat datang) dan Fame Afo (pemberian sirih sebagai penghormatan). Kemudian berlangsung diskusi yang menarik tentang berbagai potensi dan masalah di desa yang telah menjadi program bersama antara Perkumpulan Hidora dan Pemerintah Desa Tumori sejak awal tahun 2021 yang lalu.
Salah satu potensi kuat yang ada di desa ini adalah adanya 10 rumah adat khas Nias wilayah utara berbentuk oval yang berdekatan dan berada dalam satu jalan. Sepuluh rumah adat yang tersisa ini dulunya berjumlah sekitar 30 rumah, yang satu-persatu hilang karena ketidakmampuan pemilik rumah dalam pemeliharaan dan perawatannya. Sebagai gambaran satu rumah adat membutuhkan biaya sekitar Rp 5-15 juta per tahun untuk mengganti atap daun rumbia (daun sagu), yang membusuk terkena hujan dan panas.
"Di masa lalu, atap rumah adat ini cukup awet, karena pemilik rumah memasak menggunakan kayu bakar di dalam rumah, yang asapnya bisa mengawetkan atap. Hari ini warga memasak menggunakan kompor gas, maka atap cepat busuk. Dengan biaya pemeliharaan yang besar itu, tidak semua orang sanggup untuk mempertahankan rumah adat miliknya," ujar Ketua Pokdarwis, Faduhusi Zebua,.
Habisnya Pembuat Rumah Adat
Trie Utami dan rombongan juga mengunjungi rumah adat tertua di Desa Tumori yang diperkirakan berusia 150-200 tahun dan masih berdiri kokoh, milik keluarga dari Yurlinus Zebua, Kepala Dusun I Desa Tumori.
Pemilik rumah banyak menjelaskan tentang keunikan rumah adat tersebut, seperti tentang kayu-kayu rumah adat yang dirangkai tidak menggunakan paku, tapi menggunakan pasak, dan tiang utama rumah yang dari saat menebang pohonnya, tidak boleh menyentuh tanah sampai saat dipasang di rumah adat.
"Sayangnya hari ini di Gunungsitoli sudah tidak ada lagi orang yang sanggup membuat rumah adat, pengetahuan dan ketrampilan membuat rumah adat di Gunungsitoli sudah punah. Jadi walaupun misalnya ada uang untuk membangun rumah adat, tapi kini tidak ada lagi pembuatnya," papar Ketua Sanggar Seni Holy Teturia, Pariman Waruwu,.
"Penyelamatan dan pemanfaatan objek budaya memerlukan sinergi berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah desa-kota-provinsi-pusat, legislatif, para pelaku budaya, pelaku usaha, serta harus ditunjang oleh riset dan kajian akademik," ucap Wakil Ketua Perkumpulan Hidora, Bachtiar Djanan.
"Untuk itu kehadiran dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi sangat diperlukan. Saat ini kita berupaya mendorong lahirnya berbagai program penelitian dan pengabdian masyarakat berbasis lokus desa, untuk dilakukan oleh civitas akademik Universitas Nias, termasuk untuk di Desa Tumori ini," lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Trie Utami mengungkapkan Saat ini ia merasa berbahagia sekaligus sedih. Berbahagia karena mendapat kesempatan untuk melihat berbagai harta karun potensi budaya yang ada, sedih karena bisa membayangkan betapa beratnya mempertahankan dan melestarikan obyek budaya itu.
Saya akan coba bantu untuk menyuarakan apa yang telah saya dengar di desa ini kepada pihak-pihak terkait agar bisa saling bersinergi,” ujarnya
Menegaskan hal tersebut, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Penyabar Nakhe, , menyampaikan ia berupaya menarik anggaran di provinsi untuk mendukung gerakan pelestarian budaya di desa-desa di Nias, yang salah satu pintu masuknya adalah melalui pariwisata.
“Selama ini Nias cukup minim mendapatkan bagian dari program-program di provinsi,” bebernya.
Warisan Adalah Kata Kerja
Dari perjalanan mengunjungi berbagai tempat di Nias dan hadir dalam beberapa kegiatan selama lima hari di Nias ini, Trie Utami membuat kesimpulan.
"Kalau saya boleh menggarisbawahi, bahwa Nias adalah The Untold Story of Nusantara. Sangat eksotik. Masih banyak 'harta karun', terutama budaya, yang belum diketahui oleh dunia, bahkan di level nasional sekalipun”,
"PR terbesarnya adalah bagaimana orang Nias membuktikan 'seberapa Nias' dirinya. Jangan sampai kekayaan budaya di Nias justru lebih dipahami oleh orang luar Nias dibanding oleh orang Nias sendiri. Orang Nias harus 'memanggil' DNA budaya yang ada di dalam darahnya, untuk bisa memberi 'marwah' pada warisan budaya dari para leluhur," imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa warisan leluhur bukanlah kata benda.
“Warisan adalah kata kerja, yang berarti menemukenali, menjaga, melestarikan, dan mengembangkan lebih lanjut sesuai kondisi jaman, agar anak cucu kita kelak tetap dapat menikmatinya di kemudian hari," tuturnya di teras Hotel Kaliki, tempat ia menginap.
Dilanjutkan, ia yakin orang Nias akan jauh lebih maju dalam hal budaya dan akan memberi manfaat langsung pada masyarakat, apabila bisa terjadi kolaborasi dan sinergi antar berbagai stakeholders terkait, dan mau melepas ego sektoral yang dimiliki masing-masing kelompok.
“Saya berharap melalui dunia akademis, dalam hal ini UNIAS, bisa menjadi kolaborator yang mampu 'menjahit' berbagai komponen yang ada melalui kajian-kajian akademiknya,” harapnya.
Trie Utami juga berterimakasih kepada Universitas Nias yang telah mengundangnya bukan semata sebagai penyanyi dalam acara wisuda.
“Sebetulnya yang paling inti, saya justru diundang ke Nias sebagai pekerja budaya, yang ke depannya saya siap untuk menemani Nias dalam kerja-kerja sosial budaya selanjutnya. Saya, Perkumpulan Hidora, dan Universitas Nias telah berkomitmen untuk membangun jejaring kerja, khususnya dalam tema pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan Nias melalui dunia pendidikan," pungkasnya. [CKZ]