WahanaNews-Nisel | Anggota DPRD Sumut Dapil VIII, Penyabar Nakhe, melakukan kegiatan Sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2018, tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi (RIPPARPROV) Sumatera Utara Tahun 2017 - 2025, di Omo Sebua, Desa Bawomataluwo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Sabtu, (27/11/2021).
Kegiatan yang berlangsung selama tiga jam ini, dihadiri oleh jajaran Pemerintah Desa Bawomataluo, anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa), kalangan Si Ulu (kalangan bangsawan) dan Si Ila (kalangan cerdik pandai), Bapak Manoarata Fau (keturunan generasi ke-5 dari Raja/Kepala Suku Desa Bawomataluo), BUMDes, ibu-ibu PKK, tokoh masyarakat, dan puluhan warga Desa Bawomataluo, termasuk para pelaku wisata, dan kalangan media.
Baca Juga:
Walikota Jakarta Pusat Dorong Batik Pakaian Santai
Dalam pemaparannya, Penyabar Nakhe, menyampaikan bahwa Desa Bawomataluo telah mendapatkan predikat Cagar Budaya Nasional pada tahun 2017, dan menjadi amanah bagi Pemerintah Kabupaten Nias Selatan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk bisa segera menetapkannya sebagai Cagar Budaya Kabupaten dan Cagar Budaya Provinsi.
"Upaya penetapan ini merupakan amanah Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa dengan penetapan tersebut berarti pemerintah harus melakukan perlindungan, perawatan, dan pemanfaatan dengan bijak," ujar Politisi PDIP ini.
Harapan selanjutnya, kata Penyabar Nakhe, Desa Bawomataluo bisa didorong untuk masuk ke dalam Situs Warisan Dunia UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).
Baca Juga:
BRIN Ajak Peneliti Global Riset Kesehatan Tanah di ICC MAB Maroko
"Dengan nantinya Desa Bawomataluo masuk ke dalam Situs Warisan Dunia UNESCO, maka upaya perlindungan, perawatan, dan pemanfaatan akan mendapatkan banyak dukungan dari dunia internasional, termasuk dalam sisi pemanfaatannya untuk kesejaheteraan masyarakat, seperti halnya melalui pariwisata," kata Penyabar Nakhe.
Masih Tentative List
Ia juga menyampaikan, dalam ranah pariwisata berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPPARNAS) 2010 - 2025, Desa Bawomataluo berada dalam DPN (Destinasi Pariwisata Nasional) Nias Simeulue dan sekitarnya, dan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) Teluk Dalam-Nias dan sekitarnya.
Sementara di dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi (RIPPARPROV) Sumatera Utara 2017 - 2025, desa ini termasuk dalam DPP (Destinasi Pariwisata Provinsi) Kepulauan Nias dan KSPP (Kawasan Strategis Pariwisata Provinsi) Bawomataluo dan sekitarnya.
"Apabila mengacu dalam RIPPARNAS dan RIPPARPROV Sumut, Desa Bawomataluo memiliki nilai strategis yang tinggi, di mana hal tersebut seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan program-progam yang serius, untuk bersinergi dengan kepentingan besar mewujudkan Desa Bawomataluo sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO," terangnya.
Sejak tahun 2009, kata Penyabar Nakhe, Desa Bawomataluo telah masuk dalam tentative list UNESCO, yaitu daftar usulan situs yang akan diajukan sebagai situs warisan dunia.
"Namun sudah 12 tahun berselang, status daftar usulan tersebut sampai hari ini belum ada perubahan. Hampir tiap 2-3 tahun sekali tema tentang persiapan Desa Bawomatulo menuju Situs Warisan Dunia UNESCO ini menghangat, tapi kemudian surut lagi. Demikian terjadi berulang-ulang," ungkapnya.
Menurutnya, berdasarkan kajian para peneliti bahwa Permukiman Tradisional Bawomataluo telah mewakili 3 kriteria Situs Warisan Dunia UNESCO, yaitu:
Kriteria pertama, mewakili mahakarya kejeniusan kreatif manusia. Berarti bisa disimpulkan bahwa nenek moyang dan leluhur Bawomataluo serta masyarakat Nias adalah manusia-manusia kreatif dan jenius.
Kriteria kedua, menjadi contoh luar biasa dari jenis arsitektur bangunan atau ansambel teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia. Ini bisa dilihat dari keberadaan bangunan Omo Hada (rumah adat masyarakat), Omo Sebua (rumah adat raja), dan terbentuknya kampung yang berada di atas bukit, memperlihatkan suatu kecanggihan teknologi anti gempa dan kejeniusan karya arsitektur leluhur masyarakat Nias.
Kriteria ketiga, secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, atau dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa. Ini bisa dibuktikan bahwa warisan tradisi leluhur masih berlangsung hingga hari ini, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, contohnya seperti tradisi Orahua (musyarawarah), Hombo Batu (lompat batu), tarian, serta adat istiadat lainnya.
Langkah Akselerasi
Dalam Sosialisasi tersebut, Penyabar Nakhe yang didampingi oleh Tri Andri Marjanto, Ketua Perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (HIDORA), konsultan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat dari Banyuwangi, Jawa Timur, Tri Andri menyatakan, untuk mengakselerasi persiapan Desa Bawomatulo menuju Situs Warisan Dunia UNESCO, langkah penting yang harus dilakukan adalah perlu segera dibentuk Tim Task Force (Tim Khusus) Pengusulan Warisan Dunia UNESCO.
"Tim ini idealnya terdiri dari Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah RI, masyarakat adat, Tenaga Ahli Cagar Budaya, akademisi, perwakilan masyarakat luas, baik dari level daerah, maupun nasional. Tim ini butuh energi panjang, bekerja terus-menerus hingga tercapainya status warisan dunia. Proses ini bisa memakan waktu 4 sampai 5 tahun, atau bahkan lebih," kata Penyabar.
Kemudian, lanjut dia, harus disusun Rencana Aksi (Action Plan), yang bersinergi antara Pemerintah Provinsi dan Kementerian untuk dukungan pengajuan berkoordinasi dengan ICOMOS Indonesia dan ICOMOS dunia.
"ICOMOS (International Council on Monuments and Sites atau Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs) adalah organisasi internasional non pemerintah terdiri dari para ahli dari seluruh dunia yang menjadi mitra UNESCO untuk memberikan masukan dan rekomendasi terhadap pengajuan warisan dunia)," jelasnya.
Selain itu, Penyabar Nakhe mengatakan, pemerintah perlu juga mengangkat potensi kecagarbudayaan kawasan desa-desa lain di Nias Selatan yang juga memiliki nilai universal luar biasa, untuk bersama-sama dikaji dalam upaya untuk melindungi dan merawat keaslian desa-nya, Omo Sebua-nya, Oma Hada-nya, serta tradisi-tradisinya.
Kondisi Ironi
Dalam sesi diskusi itu terungkap beberapa keluhan warga, antara lain disampaikan oleh Ikhtiar Wau, si ila (tokoh masyarakat, cerdik pandai), yang menyatakan bahwa sudah berkali-kali masyarakat mendapat janji-janji untuk memajukan Desa Bawomataluo, namun kemudian tinggal harapan kosong. Sehingga tentang arah menuju situs warisan dunia ini pun bagi masyarakat belum bisa melihat keterkaitannya langsung dengan apa yang riil menjadi kebutuhan warga.
Dalam kesempatan itu, Camat Fanayama, Ronaldin Fau, menyambut baik atas pelaksanaan SOSPER ini. Ia berharap agar pelaksanaan kegiatan ini berjalan dengan sukses, dan yang paling utama adalah wujud nyata dan lebih-lebih pada bagaimana setelah Desa Bawomataluo telah menjadi cagar budaya nasional ini.
"Ke depan bisa segera ditindaklanjuti untuk menjadi cagar budaya kabupaten maupun provinsi, dan goal besarnya adalah Situs Warisan Dunia UNESCO," harap Ronaldin Fau.
Sementara itu, Si Ulu (tokoh masyarakat, cerdik pandai), Moarota Fau, menyampaikan mendukung kegiatan SOSPER yang dilakukan di Desa Bawomataluo, namun ia berharap tidak mau dijanjikan, yang penting adalah adanya wujud nyata kepariwisataan dan kebudayaan yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat Desa.
"Masyarakat Desa sebenarnya sudah capek dijanjikan oleh lembaga dan dinas yang masuk ke Desa Bawomataluo, tapi kenyataannya kurang memberi bermanfaat bagi ekonomi masyarakat," kata Moarota Fau.
Di tempat yang sama, Sekretaris Desa Bawomataluo, Salmen Manao, mengungkapkan bahwa selama ini Desa Bawomataluo didengungkan sebagai destinasi unggulan di Pulau Nias, namun sampai hari ini Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di desa ini pun belum terbentuk, pengelolaan pariwisata di desa masih belum terorganisir dengan baik, karena belum ada pendampingan untuk masyarakat.
Pengelolaan Berbasis Pelestarian
Sedangkan Tri Andri Marjanto menjelaskan, Nias dengan berbagai kekayaan budayanya sebenarnya merupakan harta karun nusantara yang tak ternilai, namun sayangnya belum dikelola dengan optimal.
"Dikelola di sini maksudnya adalah menemukenali potensi, melestarikan, mengembangkan, dan memanfaatkannya untuk kesejaheteraan masyarakat, dengan tetap berpedoman pada pelestarian," jelas Tri Andri Marjanto.
Fakta Sejarah
Desa Bawomataluo, dan Pulau Nias secara umum, sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Berdasarkan berbagai literasi, Pulau Nias sendiri telah dikenal di dunia luar sejak berabad-abad, karena letaknya yang strategis, dekat dengan jalur lintas utama Asia Tenggara.
Menurut catatan Museum Pusaka Nias, Claudius Ptolemaeus, penulis dari Yunani yang dikenal dengan nama pena Ptolemy, pernah menulis tentang Nias pada tahun 150 M, dengan menyebutkan adanya lima pulau di sebelah barat Sumatra yang dinamakan “Pulau-pulau Barus”, di mana Nias adalah pulau yang terbesar.
Tulisan berikutnya yang lebih khusus mendeskripsikan tentang Nias berasal dari Sulayman (pedagang Persia) pada tahun 851 M, kemudian tulisan dari Al-Idrisi (sarjana Arab) pada tahun 1154. Sementara pada era abad ke 19-20 sebagian besar literasi tentang Nias banyak ditulis oleh kolonial Belanda dan misionaris Jerman.
Di era kolonial, keeksotisan budaya Nias juga telah diekspose untuk kepentingan pariwisata. Perusahaan kapal uap dan wisata KPM Amsterdam menerbitkan kartu pos Nias pada tahun 1920-an, dengan tematik Desa Nias Selatan dan utara, pejuang dan penari.
Booklet promosi wisata Nias telah terbit pada tahun 1937 memuat karya-karya lukisan seniman Australia, Carl Shreve, yang mengangkat tema “Panggilan romantis: Jawa, Bali, Sumatra, Nias, Siam, Indo-Cina”. Selama era tahun 1930- an, foto dan artikel Nias banyak beredar di berbagai majalah perjalanan wisata Eropa.
Namun semenjak kedatangan orang-orang Eropa ke Nias, berbagai artefak budaya Nias telah banyak berpindah tangan dan keluar dari pulau ini. Dan di Nias sendiri saat ini tinggal sedikit artefak-artefak yang masih tersisa.
Artefak-artefak Nias banyak dikoleksi oleh museum maupun para kolektor di berbagai penjuru dunia, seperti di Belanda, Denmark, Austria, Republik Ceko, Perancis, Inggris, Jerman, Swiss, Italia, Amerika, dll, yang masing-masing menyimpan ratusan bahkan sampai ribuan koleksi benda-benda artefak budaya Nias. Koleksi ini kebanyakan didapatkan dari para penjelajah, kolonial, maupun misionaris.
Setelah kemerdekaan RI, baru pada tahun 1974 Nias kembali mulai ramai dikunjungi Kapal Pesiar KM. Prinsendam, yang membawa sekitar 300 wisatawan Eropa untuk mengunjungi Desa Bawumataluwo demi menyaksikan pertunjukan tari perang dan lompat batu. Sampai tahun 1979, kapal ini setiap bulannya rutin berkunjung. Sejak tahun 1982, kapal pesiar MS Skandinavia Pearl dan MS Mahsuri mengunjungi pulau ini rata-rata dua kali sebulan.
Masa keemasan wisata budaya Nias berlangsung sampai sebelum krisis moneter 1997 dan jatuhnya rezim Suharto tahun 1998. Kala itu, Nias bahkan telah “digadang-gandang” bakal menjadi “Bali kedua” dalam rencana pengembangan pariwisata nasional. Namun kondisi berubah, seiring dengan bergantinya pemimpin dan kebijakan, serta dengan terjadinya gempa Nias tahun 2005.
Setelah cukup lama mati suri, beberapa tahun belakangan sesekali Nias mulai dikunjungi kapal pesiar, seperti Caledonian Sky, L'Austral, dan Noble Caledonia. Pemerintah pun berusaha kembali mengangkat pariwisata Nias melalui event-event seperti Ya’ahowu Nias Festival, Sail Nias, dan Kejuaraan Surfing. [SZ]