Nias.WahanaNews.co, Jakarta - Kurs rupiah hari ini ditutup melemah sebesar 56 poin atau 0,37 persen ke level Rp15.485 per dolar AS, setelah sebelumnya berada di Rp15.428 per dolar AS.
Pelemahan ini menandai tren penurunan rupiah selama lima hari berturut-turut terhadap dolar AS.
Baca Juga:
Begini Sejarah Dolar AS yang Kini Jadi Mata Uang Patokan di Dunia
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pelemahan ini dipengaruhi oleh fokus investor yang tertuju pada laporan penggajian nonpertanian AS yang akan dirilis hari ini, yang akan memberikan indikasi lebih lanjut terkait prospek suku bunga Federal Reserve, serta meningkatnya ketegangan di Timur Tengah yang memicu kegelisahan di pasar.
"Rangkaian data yang dirilis minggu ini menunjukkan bahwa ekonomi AS masih kuat, dengan aktivitas sektor jasa naik ke level tertinggi dalam satu setengah tahun pada bulan September karena pertumbuhan pesanan baru. Selain itu, laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja pada Kamis menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja tetap stabil hingga akhir kuartal ketiga," tulis Ibrahim dalam risetnya, dikutip Jumat (4/10/2024).
Hal ini membuat para pelaku pasar mengurangi spekulasi mengenai kemungkinan pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin oleh Federal Reserve bulan depan, dengan kontrak berjangka hanya menunjukkan 35% peluang untuk skenario tersebut.
Baca Juga:
BPS Kalsel: Ekspor Provinsi Capai 1 Miliar Dolar AS pada Januari 2024
Sementara itu, setelah serangan rudal Iran ke Israel, AS sedang mempertimbangkan untuk mendukung serangan Israel terhadap fasilitas minyak Iran sebagai balasan, menurut Presiden Joe Biden pada Kamis.
Di sisi lain, militer Israel juga melanjutkan serangan udara terhadap Beirut dalam upaya menghadapi Hizbullah, kelompok bersenjata asal Lebanon.
Kemudian, Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengatakan minggu ini bahwa kondisi ekonomi di negara itu tidak siap untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh Bank of Japan (BOJ), membalikkan nada hawkish yang ia lontarkan sebelum kemenangan pemilihannya.
Dari sisi domestik, pasar terus memantau tren deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024, yang mengindikasikan bahwa masyarakat kelas menengah, terutama pekerja, semakin kesulitan untuk berbelanja.
Dengan demikian, harapan bank sentral Indonesia agar masyarakat meningkatkan belanja guna mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tampaknya sulit terwujud.
Ini disebabkan oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan situasi ini. Pertama, tingginya angka PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 pekerja terkena PHK per 1 Oktober 2024, mayoritas berasal dari sektor manufaktur.
Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta menjadi provinsi dengan angka PHK tertinggi.
Diperkirakan hingga akhir tahun, angka PHK akan melonjak di atas 75.000 karena semakin banyak perusahaan yang bangkrut atau pindah ke daerah dengan upah minimum lebih rendah.
Kedua, terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor padat karya.
Di tengah tingginya angka PHK, pembukaan lapangan kerja baru di sektor padat karya selama lima tahun terakhir hampir tidak ada.
Padahal sektor ini menjadi tulang punggung untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yang diharapkan dapat membantu menciptakan kelas menengah baru.
Namun, data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia mengalami penurunan status dalam lima tahun terakhir, sehingga jumlahnya kini hanya mencapai 47,85 juta orang.
Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang lebih berfokus pada investasi di sektor padat modal seperti pertambangan, daripada sektor padat karya yang dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Faktor ketiga adalah tingginya suku bunga. Meskipun Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan pada September 2024 dari 6,25 persen menjadi 6 persen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih mahal, dan langkah ini tidak serta merta mampu meredam lonjakan deflasi di bulan-bulan mendatang.
Hal ini disebabkan oleh masih maraknya PHK massal dan minimnya pembukaan lapangan kerja baru, yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Akibatnya, daya beli masyarakat belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Berdasarkan data ini, nilai tukar rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi akan berfluktuasi, tetapi kemungkinan besar akan kembali ditutup melemah di kisaran Rp15.470 - Rp15.580 per USD.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]