WahanaNews-Nias | Ketua Dewan Pimpinan Daerah Republik Indonesia (DPR RI), AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dengan tegas menyatakan, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia.
Oleh sebab itu, secara kelembagaan, DPD RI telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 tersebut.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
"Pasal yang kami gugat adalah tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold. Bagi DPD RI, pasal ini adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia," ujar LaNyalla, dalam Musyawarah Daerah (Musda) tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta, Sabtu (11/6/2022).
Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, melalui pasal ini, Oligarki Ekonomi mengatur kongsi untuk menentukan pimpinan nasional bangsa.
"Pasal 222 telah memaksa partai politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas. Yang kemudian terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat menjadi sangat terbatas," jelasnya.
Baca Juga:
KPU Bone Bolango Sosialisasikan Pembentukan Pantarlih untuk Pemilihan Bupati Tahun 2024
Lebih lanjut LaNyalla menyampaikan, pasal tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural, Pilpres.
Selanjutnya, ia pun mengaku tidak heran bila janji-janji manis untuk mewujudkan Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud.
"Karena, yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi. Tujuannya adalah untuk memperkaya diri dari kebijakan dan kekuasaan yang tentunya harus berpihak kepada mereka," tegasnya.
LaNyalla lantas mempertanyakan kemampuan seorang Capres untuk menghentikan Impor Garam Gula dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres adalah bagian dari penikmat uang rente dari keuntungan Impor.
"Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ayat 1, 2 dan 3, bila Oligarki Ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres tersebut adalah penikmat konsesi lahan atas sumber daya alam hutan dan tambang?" tanyanya lagi.
Menurutnya, seorang Capres juga tak akan mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, jika Oligarki Ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut.
"Itulah mengapa DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke MK. Selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita," terang LaNyalla.
Sementara itu, Ketua Umum PPAD, Letjen TNI (Purn) Doni Monardo dalam kesempatan tersebut berharap, para purnawirawan yang tergabung dalam PPAD ikut membantu negara agar bisa keluar dari krisis yang dihadapi.
"Kita ketahui akibat pandemi covid-19 hampir 2 juta rakyat kehilangan pekerjaan. Ini berdampak pada permasalahan ekonomi, sosial, keamanan dan politik. Makanya sebagai seorang pejuang dan Bhayangkari negara hendaknya jadi bagian tak terpisahkan dalam membantu negara," tuturnya.
Ia menegaskan, Indonesia negara sangat kaya dengan sumber daya alam dan potensi lainnya. Namun sampai saat ini kita masih sebatas sebagai penonton.
"Makanya kita harus jadi pendorong agar siapa saja yang mampu membuat kebijakan supaya bisa menjadikan potensi tersebut menjadi kenyataan," tegasnya. [rsy/CKZ]