Nias.WahanaNews.co, Jakarta - Rapat Paripurna DPR dan pemerintah resmi mengesahkan perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengesahan tingkat dua itu diambil dalam rapat paripurna ke-10 penutupan masa sidang II 2023-2024, belum lama ini.
Baca Juga:
Pengacara Razman Arif Nasution Laporkan Nikita Mirzani atas Pelanggaran UU ITE
Pada rapat itu, ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang mengalami perubahan.
Berdasarkan data yang dihimpun, Ketua Panja RUU ITE Abdul Kharis Almasyhari menyebut jumlah daftar inventarisasi masalah (DIM) berjumlah 38 meliputi usulan yang bersifat tetap 7 DIM, usulan perubahan redaksional 7 DIM, dan usulan perubahan substansial sebanyak 24 DIM.
Kemudian terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi.
Baca Juga:
Penyebar Video Syur AD Ditangkap, Motifnya Dendam dan Sakit Hati
Berikut sejumlah perbedaan pasal dan substansi dalam revisi UU ITE:
1. Penyelenggara sertifikasi elektronik asing ditiadakan (Pasal 13)
Pasal 13 mengatur soal penyelenggaraan sertifikasi elektronik.
Mulanya pasal tersebut mengatur tentang penyelenggara sertifikasi elektronik yang terdiri atas sertifikasi elektronik Indonesia dan asing.
Namun dalam revisi ini, klausul penyelenggara sertifikasi elektronik asing ditiadakan.
Di samping itu, ada tambahan pasal 13 yang berbunyi penyelenggara sertifikasi elektronik dapat menyelenggarakan layanan berupa tanda tangan elektronik, segel elektronik; penanda waktu elektronik; layanan pengiriman elektronik tercatat; autentikasi situs web; preservasi tanda tangan elektronik; dan/atau segel elektronik.
Kemudian identitas digital dan atau layanan lain yang menggunakan sertifikat elektronik.
2. Perlindungan anak saat akses IT (Pasal 16 A)
Ada tambahan pasal yakni 16 A dan 16 B yang mengatur soal perlindungan bagi anak saat mengakses sistem elektronik.
Penyelenggara sistem elektronik wajib untuk menyediakan sejumlah informasi yang beberapa di antaranya:
a. informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya;
b. mekanisme verifikasi pengguna anak; dan
c. mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.
Apabila tidak dipatuhi, penyelenggara sistem elektronik dapat dikenakan sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses.
3. Pasal ‘karet’ perbuatan yang dilarang (Pasal 27)
Dalam revisi kedua ini, pemerintah dan DPR RI mengubah substansi Pasal 27. Dalam UU pertama, pasal 27 memiliki 4 ayat.
Pasal ini mengatur tentang distribusi atau produksi informasi atau dokumen di ruang digital.
Kemudian juga melarang muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan pencemaran nama baik, serta pengancaman.
Sedangkan dalam beleid anyar, pasal 27 dirampingkan menjadi 2 ayat.
Yakni yang menyangkut soal muatan yang melanggar kesusilaan-ditambahi frasa untuk diketahui umum, serta tentang perjudian.
Pasal yang mengatur muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman terlihat ditiadakan.
Namun, DPR dan pemerintah ternyata menyisipkan dua pasal tambahan yakni 27 A dan 27 B.
Pasal 27 A berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”.
Adapun yang dimaksud dengan ‘menyerang kehormatan atau nama baik’ adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan atau memfitnah.
Sementara itu, Pasal 27 B mengatur larangan distribusi informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, seperti memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Lalu Pasal 28 B ayat (2) mengatur larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
4. Berita bohong menimbulkan kerusuhan (Pasal 28)
Pemerintah dan DPR menyisipkan tambahan satu ayat selain larangan untuk menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan kerugian dan juga larangan menyebarkan informasi kebencian dan permusuhan individu atau SARA.
Terdapat imbuhan ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat”.
5. Frasa pribadi di kasus ancaman kekerasan dihapus (Pasal 29)
Pasal 29 awalnya memuat soal ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Kini pasal 29 berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti”.
6. Intervensi pemerintah ke sistem penyelenggara elektronik (Pasal 40 A)
Terdapat tambahan pasal di antara Pasal 40 dan 41, yakni Pasal 40 A dan mengatur soal intervensi pemerintah.
Dalam ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Kemudian ayat (3) menyatakan Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Apabila penyelenggara sistem elektronik melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud, maka bisa dikenai sanksi administratif; teguran tertulis; denda administratif; penghentian sementara; hingga pemutusan akses.
7. Penyidik bisa tutup akun medsos seseorang sepihak (Pasal 43)
Dalam revisi UU ITE jilid II ini, DPR dan pemerintah menambahkan klausul baru dalam huruf (i) yang berbunyi, “memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital”.
8. Pelanggar informasi kesusilaan dan pencemaran nama baik bisa tak dipidana dengan syarat (Pasal 45)
Ada sejumlah perubahan pada Pasal 45, seperti beberapa orang yang melanggar Pasal 27 tidak dikenakan pidana asalkan dengan sejumlah kondisi.
Salah satunya, setiap orang yang mendistribusikan informasi kesusilaan dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Namun dalam beleid anyar ini menyebut perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal:
a. dilakukan demi kepentingan umum;
b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan
Perubahan lainnya yakni setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk elektronik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp400 juta.
Dalam revisi kedua UU ITE, ada pengecualian agar tidak dipidana, yakni perbuatan itu untuk kepentingan umum atau dilakukan karena terpaksa membela diri.
Selanjutnya, ada tambahan klausul dalam pasal 45 A yakni sanksi pidana bagi masyarakat yang memuat pemberitahuan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
[Redaktur: Zahara Sitio]