WahanaNews-Nias | Korlantas Polri bersama PT Jasa Raharja serta Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah berencana mengimplementasikan sanksi bagi para penunggak pajak kendaraan bermotor.
Caranya, dengan menghapus data kendaraannya. Akibatnya, kendaraan tersebut bakal menjadi 'bodong'.
Baca Juga:
Dari Pajak Digital, Negara Kantongi Rp 6,14 Triliun Hingga September 2024
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjadi salah satu acuan dalam penerapan rencana penyitaan kendaraan bermotor.
Diketahui ada, 40 juta pemilik kendaraan di seluruh Indonesia tak bayar pajak alias menunggak. Polisi, Jasa Raharja dan Bakuda di daerah akan menerapkan sanksi bagi penunggak pajak di atas 2 tahun.
Kasubdit STNK Direktorat Registrasi dan Identifikasi (Ditregident) Korlantas Polri, Kombes Pol Priyanto menjelaskan, melalui penghapusan data kendaraan itu, secara otomatis status kendaraan yang mati pajak STNK selama 2 tahun dan lebih akan menjadi bodong (tidak terdaftar).
Baca Juga:
Realisasi Penerimaan Pajak DJP Kalbar Capai 56,99 Persen Hingga Agustus 2024
"Kalau sudah dihapuskan berarti bodong dong. Sehingga kalau ketangkap di Jalan ya disita kendaraanya," ujar Priyanto.
Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaifullah Tamliha, mendesak Pemerintah untuk menunda rencana tersebut. Sebab hal itu, berdampak pada terjadinya perubahan status kendaraan dari status awal legal menjadi 'Bodong' (tidak terdaftar).
"Sebaiknya pemerintah menunda dan bersabar dalam konteks pembayaran pajak kendaraan ini, karena tentunya penerapan aturan ini akan berdampak luas. Seperti yang saat ini ditakutkan masyarakat yaitu penyitaan kendaraan karena dianggap bodong," ujar Tamliha, Selasa (2/8) dilansir dari wahananews.co.
Dia menambahkan, desakan penundaan tersebut didasari oleh kondisi kesulitan ekonomi yang kini dihadapi sebagian besar rakyat Indonesia. Terlebih lagi kian tingginya angka inflasi yang telah menyentuh 4,5 persen.
"Saat ini Covid-19 masih menghantui, sebagian besar rakyat sedang kesulitan. Bahkan tidak sedikit saat ini rakyat kita yang bekerja hanya untuk sesuap nasi serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Apalagi tingkat inflasi kita sudah di angka 4,5 persen yang berarti daya beli masyarakat sedang menurun," tegasnya.
Sebaliknya, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyarankan, Pemerintah lebih fokus pada pemungutan pajak dari korporasi dan orang-orang kaya di negeri ini.
"Kejar saja pajak orang kaya raya yang belum dipungut secara maksimal. Meskipun tax amnesty sudah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah," ungkapnya. [rin/CKZ]