WahanaNews-Nias | Korupsi di Indonesia makin menggila melampaui era awal Orde Baru, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada awal Orde Baru masih rendah, yakni di angka 20. Namun, setelah itu terus merangkak naik hingga tahun lalu menyentuh angka 34.
Hal ini dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, di Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (11/6/23).
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
"Itu membuat kita kaget, korupsinya makin menjadi-jadi berarti. Kesimpulannya itu memang terjadi conflict of interest di dalam jabatan-jabatan politik. Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, Mahkamah Agung (MA), pengadilan bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama," jelasnya
Dilansir dari WahanaNews.co, Mahfud mengatakan menggandeng beberapa lembaga internasional untuk membedah soal tingkat korupsi di Indonesia. Pada akhirnya ditemukan bahwa terjadi praktik-praktik yang melanggar hukum.
Mahfud menyebut temuan tersebut mungkin sulit dilihat oleh mata kepala orang Indonesia. Namun, hal tersebut terlihat jelas ketika dilakukan penelitian antara Kemenko Polhukam bersama lembaga-lembaga internasional terkait.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
"Di DPR ada conflict of interest. Pekerjaan anggota DPR, tapi punya konsultan hukum. Nanti kalau ada masalah, 'tolong dibantu ini, itu'. Dibawa ke pengadilan, pengadilannya korupsi lagi. Sampai hakimnya ditangkap, jaksa ditangkap," tutur Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud mengajak semua pihak untuk mempertahankan semangat reformasi yang sudah membara sejak 1998. Ia menyebut reformasi adalah titik tengah antara evolusi dan revolusi.
Ia mengatakan Indonesia tidak perlu revolusi untuk menjadi negara maju.
Mahfud menekankan yang harus terus dilakukan adalah menjaga semangat reformasi sembari tetap mewaspadai ancaman penyusup dari dalam kementerian/lembaga (K/L).
"Di berbagai struktur lembaga pemerintahan sekarang banyak penyusup-penyusup yang justru melemahkan, bukan menguatkan," ungkap Mahfud.
"Oleh sebab itu, proses seleksi atau rekrutmen jabatan-jabatan publik harus diperketat, tidak boleh berdasarkan pesanan, terutama untuk lembaga-lembaga penegak hukum," tandasnya.[eta]