Nias.WahanaNews.co| Pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak selesai dengan pelaku itu dihukum, tetapi masih diperlukan proses pemulihan sehingga keadilan restoratif dibutuhkan.
Hal itu dikatakan Lidwina Inge Nurtjahyo, ahli Hukum Universitas Indonesia, saat menjadi narasumber webinar nasional bertajuk “Restoratif Justice dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” yang disiarkan secara langsung dalam kanal YouTube LBH APIK Jakarta, dipantau dari Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Baca Juga:
Universitas Indonesia Juara Kompetisi Essay dalam Ajang Pertamina Goes To Campus 2024
Dia mengatakan penerapan keadilan restoratif berbasis pemulihan oleh aparat penegak hukum diperlukan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang marak terjadi di Indonesia.
Proses pemulihan tersebut, lanjut ia, dapat berupa konseling, penguatan kapasitas diri korban, atau pelayanan medis. Melalui proses tersebut, penyintas dapat merasa aman untuk kembali bersosialisasi di luar rumah.
Lidwina mengambil contoh kasus kekerasan rumah tangga (KDRT) yang pernah terjadi di Timor Leste. Selain korban diberikan konseling untuk memulihkan trauma, ia dipertemukan pula dengan pelaku.
Baca Juga:
Menteri Bahlil Soal Moratorium Gelar Doktor: Yang Saya Tau Bukan Ditangguhkan
“Dalam konteks kasus KDRT yang pernah terjadi di Timor Leste, waktu kami penelitian, kalau si korban sudah cukup kuat, kemudian dia akan direncanakan bertemu dengan pelaku,” ujar Lidwina.
Jika menurut pihak konselor pelaku telah berubah menjadi sosok yang lebih baik, lanjutnya, dia diperbolehkan bertemu dengan korban yang merupakan istrinya.
Selanjutnya, keduanya difasilitasi untuk berdialog dan membahas penyebab terjadinya kekerasan.
“Ternyata, ini proses pemulihan juga bagi korban. Mereka bilang tidak takut lagi saat bertemu pelaku,” tambah Lidwina.
Namun, Lidwina menegaskan jika kasus yang dihadapi adalah kekerasan seksual di antara pelaku dan korban yang bukan merupakan pasangan suami-istri, langkah dipertemukannya kedua belah pihak tidak boleh dilakukan.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta itu, menurut Lidwina Inge Nurtjahyo, korban kekerasan seksual yang bukan berstatus istri pelaku lebih disarankan untuk mendapatkan pemulihan dari konselor ahli. [SZ]