WahanaNews-Nias | Ahli hukum tata negara, Profesor Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pandangannya terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang UU Cipta Kerja.
Menurutnya, hal itu merupakan pilihan paling mungkin yang bisa diambil Presiden Jokowi untuk mengatasi keadaan. Pasalnya, UU Cipta Kerja sudah dinyatakan MK sebagai inkonstitusional bersyarat.
Baca Juga:
Perppu Ciptaker akan Disahkan dalam Rapat Paripurna Mendatang
"Tentu bukan pilihan terbaik, apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik, tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (6/1/2023).
Ia menjelaskan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diterbitkan Jokowi setelah pada 25 November 2021 MK memutuskan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi.
Maka, MK mengamanatkan agar dalam waktu dua tahun DPR dan Presiden harus memperbaiki UU itu. Bila lewat tenggat, maka UU tidak berkekuatan hukum.
Baca Juga:
Mahfud Ungkap Alasan Jokowi Terbitkan Perppu Ciptaker
MK juga melarang pemerintah membuat peraturan pelaksanaan UU Ciptaker sebelum UU Ciptaker diperbaiki.
"Putusan MK kali ini memang lain dari biasanya. Namun mau diperdebatkan bagaimanapun juga, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya," papar Yusril.
Akibat putusan MK, lanjutnya, pemerintah berada di posisi yang sulit. Hal itu lantaran perbaikan UU Cipta Kerja bakal memakan waktu yang lama. Sedangkan sisa periode masa jabatan Presiden Jokowi hanya sampai 20 Oktober 2024. Maka, diambillah pilihan, yakni Perppu Ciptaker.
Belakangan ini, terdapat gugatan terhadap Perppu Ciptaker ke MK. Gugatan dilayangkan enam perwakilan elemen masyarakat pada 5 Januari kemarin. Menurut Yusril, MK tidak berwenang menguji Perppu.
"Apa yang akan terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perpu bertentangan dengan UUD 45, sementara DPR sedang membahas Perpu tersebut. Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK," jelasnya.
"Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Apakah MK akan mengadili dirinya sendiri?," lanjut Yusril.
Terakhir, mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Hukum dan HAM ini pun berharap, hakim konstitusi bisa menahan diri untuk menguji Perppu Ciptaker. [mga/CKZ]