Nias.WahanaNews.co, Jakarta - Hakim Konstitusi dan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih, menegaskan bahwa keputusan terkait gugatan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tidak menghapuskan ambang batas parlemen sebesar empat persen.
Enny menjelaskan bahwa dalam amar putusannya, MK menyarankan kepada pembuat undang-undang untuk meninjau kembali nilai dan persentase ambang batas parlemen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar menjadi lebih rasional.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
"Putusan 116/PUU-XXI/2023 tidak meniadakan threshold, sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan bahwa threshold dan besaran angka persentase-nya diserahkan ke pembentuk undang-undang untuk menentukan threshold yang rasional," kata Enny, dilansir WahanaNews.co dari Antara, Sabtu (2/2/2024).
MK menegaskan bahwa ambang batas parlemen sepatutnya ditentukan dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif. Hal ini untuk meminimalisasi ketidakproporsionalan dalam konversi hasil pemilu.
"Dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif, sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang, sehingga sistem proporsional yang digunakan tapi hasil pemilu-nya tidak proporsional," tutur Enny.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Enny juga menjelaskan bahwa pasal yang digugat oleh Perludem, yakni Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu perihal ambang batas parlemen, tetap konstitusional untuk Pemilu 2024, tetapi konstitusional bersyarat untuk Pemilu 2029 dan seterusnya.
"Untuk Pemilu 2029 dan seterusnya sudah harus digunakan threshold dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut," ucap Enny menjelaskan.
MK pada sidang pleno Kamis (29/2) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang diajukan oleh Perludem.
Amar putusan MK menyatakan pasal tersebut konstitusional untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan ambang batas parlemen empat persen.
Mahkamah menyebut penentuan besaran angka atau persentase ambang batas yang tidak rasional itu telah menimbulkan disproporsionalitas antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR, sehingga melanggar hak konstitusional pemilih.
Sebab itu, MK berpendapat ambang batas parlemen perlu segera diubah dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh beberapa poin, di antaranya adalah agar ambang batas parlemen didesain untuk digunakan secara berkelanjutan dan dapat mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Diketahui, Perludem mengajukan permohonan uji materi agar frasa "paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional" pada Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Perludem mengusulkan agar norma pada pasal tersebut diinterpretasikan sebagai Partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang efektif secara nasional untuk memenuhi syarat untuk memperoleh kursi di DPR, dengan ketentuan:
a. Memiliki bilangan 75 persen yang dibagi dengan rata-rata ukuran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikalikan dengan akar jumlah daerah pemilihan;
b. Jika hasil bagi dari ambang batas parlemen sebagaimana dijelaskan dalam poin a menghasilkan angka desimal, maka harus dilakukan pembulatan.
MK menyatakan bahwa pasal yang dipertanyakan oleh Perludem mengenai prosedur penentuan ambang batas parlemen telah terbukti konstitusional.
Meskipun demikian, MK tidak dapat menyetujui permintaan untuk menginterpretasikan kembali norma pada pasal tersebut, karena hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan yang dibuat oleh pembuat undang-undang.
"Dengan demikian, dalil permohonan pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," demikian bunyi pertimbangan hukum MK sebagaimana dikutip dalam salinan Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]