Nias.WahanaNews.co, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menemukan informasi baru terkait transaksi yang mencurigakan dalam kasus Impor Emas senilai Rp 189 Triliun.
Mahfud menyatakan bahwa setelah melakukan investigasi bersama-sama antara Satgas TPPU, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah ditemukan bukti adanya pemalsuan data kepabeanan yang mengakibatkan hilangnya pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas emas batangan hasil impor seberat 3,5 ton.
Baca Juga:
Jerat Eks Pegawai MA Zarof Ricar, Kejagung Buka Peluang Lewat TPPU Gratifikasi Rp920 Miliar
"Modus kejahatan yang dilakukan adalah mengkondisikan seolah-olah emas batangan yang diimpor telah diolah menjadi perhiasan dan seluruhnya telah diekspor," kata Mahfud dikutip dari keterangannya, Kamis (2/11/2023).
Mahfud menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang ditemukan oleh Satgas TPPU, ada dugaan bahwa emas batangan seberat 3,5 ton telah beredar di pasar domestik.
Oleh karena itu, transaksi emas yang terjadi antara tahun 2017 hingga 2019, yang melibatkan tiga entitas terkait dengan Grup SB dan berkolaborasi dengan perusahaan di luar negeri, diduga telah menyalahgunakan Surat Ketetapan Bebas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Baca Juga:
Kejagung Ungguli KPK dalam Mengusut Kasus Korupsi dan TPPU
"Dengan demikian Group SB telah menyalahgunakan Surat Ketetapan Bebas PPh Pasal 22," ujar Mahfud.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun menurut Mahfud telah memperoleh dokumen perjanjian tentang pengolahan anoda logam/dore dari salah satu BUMN (PT ATM) ke Group SB (PT LM), yang diduga perjanjian ini sebagai kedok Group SB untuk melakukan ekspor barang yang tidak benar.
"Saat ini masih ditelusuri jumlah pengiriman anoda logam dari PT ATM ke PT LM dan pengiriman hasil olahan berupa emas dari PT LM ke PT ATM, untuk memastikan nilai transaksi yang sebenarnya," tutur Mahfud.
DJP lalu memperoleh data Group SB melaporkan SPT secara tidak benar sehingga DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPRIN BUKPER) pada 14 Juni 2023 terhadap 4 Wajib Pajak Group SB.
Data sementara yang diperoleh, terdapat Pajak Kurang Bayar beserta denda yang diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah untuk Group SB.
Dalam menjalankan bisnisnya, SB memanfaatkan orang-orang yang bekerja padanya sebagai instrumen melakukan tindak pidana kepabeanan, perpajakan dan TPPU.
PPATK telah menyerahkan data tambahan transaksi keuangan mencurigakan yang berasal dari puluhan rekening Group SB kepada DJP untuk dilakukan analisis kebenaran pelaporan pajaknya.
Penyidik dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pun kata Mahfud telah meyakini memperoleh bukti permulaan terjadinya tindak pidana kepabeanan dalam penanganan surat yang dikirimkan PPATK Nomor SR-205/2020 dengan nilai transaksi mencurigakan Rp.189 Triliun.
"Penyidik telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor 07 tanggal 19 Oktober 2023 dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang TPPU, serta menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Bidang Pidsus Kejaksaan Agung," ungkap Mahfud.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]