Foto bersama usai seminar. (Foto/ist)
Baca Juga:
2.000 Guru di Sumedang Ikuti Seminar Nasional “How To Be A Great Teacher''
"Di satu pihak sungguh bagus dan mencerminkan tetapi setelah mencicipi pengalaman acap kali rencana pembentukan keluarga baru dihambat oleh bowo hada (jujuran adat) bahkan tidak sempat melihat dan menikmati indahnya hidup berkeluarga yang dalam arti telah di bumbung oleh tabir gelap dan derita," katanya.
Hari ini, lanjut dia, Lembaga STP Dian Mandala mengangkat Seminar Nasional ini sebagai salah satu sumbangan dari pihak-pihak kampus untuk terus menyalakan obor rintisan sekaligus sebagai jalan perhatian kami kepada masyarakat tentang buda adat.
"Kita setuju bahwa "bosi bowo" (jujuran adat) kita pertahankan, nilainya kita lestarikan tetapi wujud dan pelaksanaannya kita sederhanakan," ujarnya.
Baca Juga:
Dies Natalis Ke-36, USNI Komitmen Dorong Generasi Muda Jadi Agen Perubahan
Kemiskinan, kemelaratan hendaknya tidak menjadi refren hidup orang Nias, lakhomi (wibawa) sumange (hormat adat) tòi (nama dalam lingkup adat) tidak akan bermakna kalau hidup tidak realistis.
Dengan demikian, Dominikus mengajak semua pihak untuk mencari solusi dengan reformasi, transformasi, karena keluarga adalah pintu masuk transportasi dengan memberi teladan, orientasi, damai dan bahagia dalam hidup berkeluarga.
Di tempat yang sama, Vikaris Jenderal Keuskupan Sibolga, R.P. Gregorius Fau, O.F.M. Cap., melalui kata penggembalaannya menyampaikan bahwa, keleluasan dalam lingkup perkawinan itu sendiri tidak hanya menjadi beban dua orang saja tetapi telah menjadi sebuah peristiwa sosial bahkan juga menjadi ada hubungan yang sama terkait dengan institusional.