WahanaNews-Nias | Kuasa hukum keluarga Brigadir J, Martin Simanjuntak, membeberkan kekahawatirannya dalam proses persidangan kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Pasalnya, terdakwa utama kasus tersebut yaitu Ferdy Sambo dinilai masih memiliki kekuatan untuk mengendalikan proses hukum.
Baca Juga:
Komjen Ahmad Dofiri Jadi Wakapolri, Jenderal di Balik Pemecatan Ferdy Sambo
Martin mengatakan, Ferdy Sambo memiliki kekayaan yang bisa jadi membuat persidangan terganggu.
"Tentu masih khawatir, kita tahu seberapa kaya orang ini. Kaya dalam tanda petik karena kekayaannya menurut saya ini perlu diteliti ulang apakah legal atau ilegal," kata Martin dalam acara Satu Meja, dilansir WahanaNews.co dari Kompas TV, Jumat (25/11).
Menurut Martin, kekayaan Ferdy Sambo terlihat janggal karena terlihat mengirimkan uang sejumlah Rp 200 juta untuk biaya operasional untuk tiga rumahnya di Kemang, Magelang, dan Saguling.
Baca Juga:
Perjalanan Vonis Ferdy Sambo dari Hukuman Mati Jadi Penjara Seumur Hidup
Padahal, gaji sebagai Kadiv Propam Polri tak lebih dari Rp 35 juta per bulan.
"Sebagai contoh bagaimana orang ini bisa memberikan uang kepada ajudan, menurut versi Sambo untuk tiga dapur dan masing-masing Rp 200 juta. Sedangkan dia pendapatannya yang kita tahu hanya Rp 35 juta," tutur Martin.
Kekhawatiran kedua adalah pengaruh Ferdy Sambo di jaringan kepolisian yang sudah tersebar luas saat menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.
"Saya yakin sampai saat ini yang bersangkutan masih memiliki kuncian manakala dalam pekerjaan mungkin saja yang bersangkutan memiliki kartu-kartu truf tertentu yang mungkin saja dicatat dalam buku hitam yang dibawa oleh Ferdy Sambo," ucap dia.
Selain itu, yang menjadi sorotan Martin adalah perlakuan berbeda Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dibandingkan terdakwa lainnya.
Dia menyoroti bagaimana Ferdy Sambo diperlakukan spesial oleh Kejaksaan saat pelimpahan barang bukti dan tersangka pada 5 Oktober 2022.
"Saya melihat ketika pada saat Ferdy Sambo tahap dua di kejaksaan, terdakwa atau TSK yang lain diekspos ke media, bahkan cara melepas masker itu seperti mereka ini orang biasa," kata Martin.
"Namun, ketika Ferdy Sambo dan PC (Putri Candrawathi) tidak diperlakukan sama seperti para tersangka yang lain, itu yang pertama," sambung dia.
Kejanggalan berikutnya, kata Martin, adalah cara majelis hakim berbicara kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
"Cara menanyakan majelis hakim, ini dengan hormat bukan menuduh atau apa, tapi ketika berbicara kepada para terdakwa ini pendekatannya berbeda," tutur Martin.
Adapun persidangan Ferdy Sambo sudah memasuki pekan keenam terhitung sejak 18 Oktober 2022.
Ferdy Sambo didakwa melakukan pembunuhan berencana yang menghabisi nyawa Brigadir Yosua.
Dia tidak sendiri, Sambo disebut merencanakan pembunuhan itu bersama istrinya Putri Candrawathi juga Richard Eliezer, Ricky Rizal sebagai ajudannya, dan Kuat Maruf yang merupakan sopirnya.
Peristiwa pembunuhan Yosua disebut terjadi akibat cerita sepihak istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, yang mengaku dilecehkan Yosua di Magelang.
Kemudian, Ferdy Sambo marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Yosua yang melibatkan Richard, Ricky, dan Kuat.
Akhirnya, Brigadir J tewas di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022.
Atas peristiwa tersebut, Eliezer, Sambo, Putri, Ricky, dan Kuat didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kelimanya terancam pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun.
Khusus Sambo, jaksa juga mendakwa eks Kadiv Propam itu terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan pengusutan kasus kematian Brigadir J.
Ia dijerat dengan Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subsider Pasal 221 Ayat (1) ke 2 juncto Pasal 55 KUHP. [rna/CKZ]