WahanaNews-Nias | Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana membeberkan politik identitas dari kampanye terselubung di media sosial berpotensi memicu pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu.
"Persoalan mengenai meningkatnya kampanye terselubung yang dilakukan di dalam media sosial Facebook, Twitter, media sosial, penyebaran berita-berita bohong, palsu, negatif dan menyesatkan, menerapkan praktik politik identitas dan cenderung melakukan isu SARA sangat berbahaya dan potensi menimbulkan kebencian, menimbulkan konflik horizontal dan bertentangan hingga ke akar rumput," kata Fadil di acara Rakornas Sentra Gakkumdu yang digelar di Hotel Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (19/9) mengutip wahananews.co.
Baca Juga:
Kajati Sulteng Hentikan Penuntutan Perkara Kasus Ana Adela di Donggala
Kemudian, Fadil juga menyinggung perihal adanya batasan penanganan tindak pidana pemilu yang hanya berlaku 52 hari. Hal itu, kata Fadil, menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku pelanggar pemilu untuk mengulur waktu proses penegakan hukumnya.
"Ketentuan mengenai batasan waktu penanganan tindak pidana Pemilu paling lama 52 hari, yang terdiri dari 1 hari penyelidikan, 25 hari proses penyidikan, sampai dengan pelimpahan perkara 20 hari, untuk itu proses persidangan putusan tingkat pertama sampai dengan banding hanya 6 hari. Pelaksanaan putusan menyebabkan adanya limitasi waktu serta terdapat beberapa delik yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun tidak dapat dilakukan penahanan, sehingga seringkali menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari jerat hukum dengan cara mengulur waktu proses penanganan perkara tindak pidana Pemilu karena dianggap melewat waktu dan kadaluwarsa," katanya.
Fadil menerangkan dewasa kini, masih banyak juga praktik politik uang yang dilaporkan berbagai pihak dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Baca Juga:
Ketua MPR RI, Bamsoet Dorong Optimalisasi Restorative Justice
Fadil menyebut politik uang bukan hanya menciderai prinsip demokrasi tapi juga berpotensi mengganggu ketertiban.
"Masih banyaknya praktik-praktik politik uang yang dilaporkan berbagai pihak pada setiap pelaksanaan pemilu. Maraknya laporan tersebut secara tidak langsung menggambarkan masih adanya anggapan bahwa praktik politik uang merupakan jalan pintas untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, tanpa harus bersusah payah mensosialisasikan ide, gagasan dan program-program kerja lainnya," ujarnya.
Fadil juga menyoroti subjek hukum yang ada di dalam Undang-Undang Pemilu bukan hanya sebatas orang perorang, tapi juga lembaga dan perusahaan.