Penulis : 1. Eliagus Telaumbanua, S.E., M.M. (Mahasiswa S3 DIM USU). 2. Prof. Dr. Elisabet Siahaan, S.E., M.Ec (Guru Besar FEB USU)
OMNIBUS Law atau Undang-Undang Cipta Kerja telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Omnibus Law ini merupakan sebuah undang-undang yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia. Namun, Omnibus Law ini juga menuai kontroversi karena beberapa pasalnya dianggap merugikan pekerja dan lingkungan.
Baca Juga:
UU Cipta Kerja Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan
Sejarah UU Cipta Kerja dimulai pada tahun 2019, ketika Pemerintah Indonesia mengajukan rancangan undang-undang omnibus untuk merombak berbagai undang-undang yang dianggap menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Rancangan undang-undang ini mengalami perdebatan yang sengit di parlemen dan masyarakat, dengan pendukung dan penentang yang kuat.
Sejak disahkan, UU Cipta Kerja tetap menjadi topik perdebatan yang hangat di Indonesia. Banyak kelompok masyarakat sipil, serikat pekerja, dan mahasiswa menggelar demonstrasi untuk menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak UU ini. Beberapa pihak juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU tersebut.
Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang efektifitas, konfigurasi, urgensi Omnibus Law dan implementasinya dalam manajemen sumber daya manusia.
Baca Juga:
Ratusan Nakes dan Dokter Unjuk Rasa, Suarakan Tolak RUU Omnibus Law Kesehatan
Efektifitas Omnibus Law
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), juga dikenal sebagai Omnibus Law, adalah undang-undang yang diadopsi oleh Indonesia pada tanggal 2 November 2020. UU ini merupakan revisi terhadap berbagai undang-undang yang ada sebelumnya, dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, dan menciptakan lapangan kerja.
Pemerintah meyakini bahwa UU Cipta Kerja akan mempercepat proses perizinan investasi, menyederhanakan peraturan ketenagakerjaan, memperkuat perlindungan investasi, dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Di sisi lain, kritikus mengkhawatirkan bahwa UU ini dapat mengurangi perlindungan tenaga kerja, melemahkan hak-hak pekerja, dan merusak lingkungan. Setelah melalui serangkaian perdebatan dan amendemen, UU Cipta Kerja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020. Undang-undang tersebut kemudian ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020 dan menjadi efektif.
UU Cipta Kerja mencakup berbagai aspek, termasuk ketenagakerjaan, investasi, perpajakan, kepemilikan lahan, perizinan usaha, serta regulasi sektor energi dan mineral. Undang-undang ini memberikan perubahan signifikan dalam berbagai bidang hukum dan ekonomi di Indonesia.
Efektifitas yang dimaksud dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja diantaranya:
Proses perizinan yang lebih cepat:
UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyederhanakan proses perizinan investasi dengan mengintegrasikan beberapa perizinan yang sebelumnya terpisah. Beberapa perubahan administratif telah dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, namun masih diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk melihat sejauh mana peningkatan ini berdampak pada investasi yang masuk ke Indonesia.
Fleksibilitas ketenagakerjaan:
UU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan ketenagakerjaan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada pengusaha, seperti perpanjangan masa percobaan, pembatasan upah minimum, dan perubahan dalam pengaturan kontrak kerja. Ini telah menuai kontroversi dan menimbulkan kekhawatiran terkait penurunan perlindungan pekerja dan kondisi kerja yang lebih buruk. Dampak jangka panjangnya perlu dipantau.
Perlindungan investasi:
UU Cipta Kerja juga berupaya meningkatkan perlindungan investasi dengan mengatur berbagai aspek hukum yang berkaitan. Ini mencakup upaya untuk memperbaiki sistem hukum, meningkatkan kepastian hukum, dan menyederhanakan prosedur perpajakan. Namun, efektivitas langkah-langkah ini dalam menarik investasi baru masih harus dievaluasi.
Perlindungan lingkungan:
UU Cipta Kerja juga mencakup ketentuan terkait perlindungan lingkungan. Namun, kekhawatiran muncul bahwa perubahan dalam regulasi dapat melemahkan perlindungan lingkungan dan memudahkan akses untuk kegiatan usaha yang berdampak negatif pada ekosistem. Perdebatan masih berlanjut tentang bagaimana mengoptimalkan perlindungan lingkungan dalam kerangka UU ini.
Memahami Omnibus Law UU Cipta Kerja bukan dengan cara membaca undang-undang yang sebelumnya sudah ada misalnya sebuah UU kemudian di revisi dan di amandemen dan untuk selanjutnya secara otomatis UU tersebut tidak berlaku, hal ini berbeda dengan cara membaca Omnibus Law.
Undang-undang Ketenagakerjaan, misalnya saat beberapa pasal dijadikan sebagai UU Cipta Kerja maka bukan berarti pasal-pasal yang sebelumnya ada tidak berlaku tetapi bisa diturunkan menjadi peraturan, sehingga UU Cipta Kerja dapat kita pahami dari segi manfaatnya. Hal ini dapat kita baca secara faktual dimana UU Omnibus Law Cipta Kerja terdiri dari beberapa BAB dan Pasal yang dapat menarik investor asing ke Indonesia terkait izin usaha dan mengatasi tumpeng tindih aturan terkait izin usaha.
Statement dari Airlangga Hartanto selaku Menko Perekonomian RI mengatakan “cakupan substansi tersebut kami yakini dapat mendukung upaya kita bersama untuk meningkatkan peningkatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian kita.”
Dan untuk membuktikan hal tersebut maka perlu kita melihat hasil dan fakta sesungguhnya dan bagaimana implementasinya di lapangan. Omnibus Law diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia. Dalam Omnibus Law, terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia, seperti pasal tentang perjanjian kerja, upah, dan pengaturan jam kerja.
Salah satu pasal yang kontroversial adalah pasal tentang perjanjian kerja. Pasal ini mengatur bahwa perjanjian kerja dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Hal ini dianggap merugikan pekerja karena perjanjian kerja yang dilakukan secara lisan sulit untuk dibuktikan dan dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Namun, Omnibus Law juga mengatur bahwa perjanjian kerja harus memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dapat meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan sumber daya manusia karena perjanjian kerja yang memenuhi standar minimum dapat mengurangi sengketa antara pekerja dan pengusaha.
B. Konfigurasi Omnibus Law
Omnibus Law memiliki konfigurasi yang kompleks karena terdiri dari beberapa pasal yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk manajemen sumber daya manusia. Konfigurasi Omnibus Law ini dapat mempengaruhi implementasi Omnibus Law pada manajemen sumber daya manusia.
Salah satu konfigurasi Omnibus Law yang kontroversial adalah pengaturan upah. Omnibus Law mengatur bahwa upah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, namun harus memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dapat mempengaruhi manajemen sumber daya manusia karena pengusaha dapat menentukan upah yang lebih rendah dari standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Meskipun banyak juga kontra khususnya serikat buruh dan pekerja di media sosial terkait dengan waktu kerja dimana narasi yang dibangun mengatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja bagi buruh atau pekerja terkesan seperti sapi perah karena harus bekerja selama enam hari dalam seminggu.
Realitanya perbedaan sesudah dan sebelum UU Omnibus Law Cipta Kerja
Sumber NRC Waktu kerja tetap mengikuti ketentuan UU No.13/2003 Pasal 79 Ayat 2 Tentang Ketenagakerjaan dimana pada UU Omnibus Law Cipta Kerja Pasal 22 Ayat 2 waktu kerja sebagaimana dimakasud pada ayat 1 meliputi :
7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.
8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Demikian halnya pada cuti haid/melahirkan dimana pada UU Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 1 dikatakan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Sedangkan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan, atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga tetap berlaku sesuai aturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Yang terkait dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu atau pekerjaan tidak tetap memberikan perlindungan untuk kelangsungan kerja dan perlindungan hak pekerja sampai pekerjaan selesai, dalam UU Ketenagakerjaan pasal 59 :
Mengatur PKWT terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, namun boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.
Sedangkan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja pasal 59 ayat 2 ditegaskan bahwa PKWT tidak dapat di adakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Alih Daya :
Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja pasal 66 ayat 1 dituliskan bahwa hubungan kerja antar perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja diwaktu tertentu atau perjanjian waktu tidak tertentu.
Misalnya pekerja yang bekerja diperusahaan alih daya dengan status outsourcing atau karyawan yang dipekerjakan oleh pihak eksternal atau pihak penyedia layanan pihak ketiga. Pindah ke perusahaan alih daya yang lain maka masa kerja diperusahaan alih daya sebelumnya tetap di hitung. Dan tetap mendapatkan pesangon seperti karyawan tetap pada umumnya, dan itu sudah di atur sedemikian rupa dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Selanjutnya keraguan terhadap UU Omnibus Law terkait Upah Minimum Regional, yang menarasikan masalah kekhawatiran untuk memperoleh upah yang layak. Kenyataannya pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, mengenai upah sudah diatur pada Pasal 88c ayat 2 yaitu:
Gubernur dapat menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota dengan syarat tertentu. Pasal 88c ayat 5 yaitu upah minimum Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat 2 harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
Selanjutnya isu mengenai pesangon dimana pekerja tidak akan mendapatkan pesangon dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja, malah sebaliknya pemerintah memastikan menjamin setiap hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pesangon dan dengan skema baru adanya JPK (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) tidak menambah beban bagi buruh/pekerja. Dimana hal ini diatur pada Pasal 156 ayat 1 yaitu : dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayarkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Dan terakhir akses terhadap Tenaga Kerja Asing sehingga muncul anggapan dengan masuknya Tenaga kerja asing maka kompetisinya semakin sulit untuk mencari pekerjaan. Untuk bersaing dengan sesama warga negara saja sulit apalagi bila bersaing dengan tenaga kerja asing.
Penjelasan akan hal itu dapat dilihat pada Pasal 43 ayat 1 UU Ketenagakerjaan sebelumnya Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri dan pejabat yang ditunjuk.
Sedangkan dalam pasal 42 ayat 4 UU Omnibus Law Cipta Kerja dikatakan bahwa tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Poin-poin penting dalam konfigurasi UU Cipta Kerja:
Ketenagakerjaan:
Perpanjangan masa percobaan: UU ini memungkinkan perpanjangan masa percobaan bagi pekerja hingga maksimal 6 bulan.
Fleksibilitas jam kerja: UU ini memberikan fleksibilitas dalam mengatur jam kerja, termasuk kemungkinan penggunaan sistem perhitungan waktu kerja berbasis siklus.
Pemutusan hubungan kerja: UU ini mengatur beberapa ketentuan terkait pemutusan hubungan kerja, termasuk pemutusan hubungan kerja secara musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan (musyawarah pengusaha dan pekerja).
Upah minimum: UU ini mempertahankan sistem penetapan upah minimum, namun memberikan fleksibilitas bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi setempat.
2. Investasi:
Penyederhanaan perizinan: UU ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perizinan investasi dengan mengintegrasikan beberapa perizinan yang sebelumnya terpisah.
Perlindungan investasi: UU ini mencakup ketentuan untuk memperkuat perlindungan investasi dan meningkatkan kepastian hukum bagi investor.
Pemberian insentif: UU ini memberikan kemungkinan pemberian insentif bagi investor yang melakukan investasi di sektor-sektor tertentu.
3. Perizinan usaha:
a. Perubahan dalam regulasi perizinan: UU ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi perizinan usaha dengan mengintegrasikan berbagai prosedur dan perizinan.
b. Sistem perizinan berbasis risiko: UU ini memperkenalkan sistem perizinan berbasis risiko, yang memungkinkan pengurangan persyaratan perizinan untuk usaha dengan risiko rendah.
4. Kepemilikan lahan:
Kemudahan dalam pemanfaatan tanah: UU ini memberikan beberapa kemudahan dalam pemanfaatan tanah untuk kegiatan usaha, termasuk peningkatan batas kepemilikan tanah bagi badan usaha.
5. Regulasi sektor energi dan mineral:
Penyederhanaan regulasi: UU ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi sektor energi dan mineral dengan mengintegrasikan beberapa peraturan yang ada.
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang UU Cipta Kerja antara lain oleh Michael (2020) yang mengkaji tentang bentuk pemerintahan demokrasi secara tepat ketika omnibus law diterapkan. Bentuk pemerintahan perspektif omnibus law adalah demokrasi gabungan Plato dan Polybius karena tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
Penerapan omnibus law tetap harus melalui pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat agar tercipta check and balances serta partisipasi masyarakat sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prabowo (2020) dalam penelitiannya menguraikan konsepsi dari Omnibus Law sejatinya merupakan konsep yang lazim dikenal di negara dengan sistem hukum anglo saxon yang kemudian coba diimplementasikan di Indonesia guna menyederhanakan beberapa peraturan multi sektor.
Penelitian ini menimbulkan kesan komprehensif dalam pembahasan serta memuat literatur sejarah sehingga asal mula lahirnya konsep omnibus law dapat dipahami dengan baik.
Akan tetapi, dalam penelitian mereka tidak terdapat anasir-anasir politik hukum seperti UUD 45 atau terminologi tentang politik hukum yang seharusnya ada untuk menjawab fenomena omnibus law dari perspektif politik hukum.
UU Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan efek positif bagi masyarakat seperti iklim investasi kondusif yang akan menyerap lebih banyak lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan berbanding lurus dengan berkurangnya pengangguran, produktivitas para pekerja meningkat.
Jika tujuan-tujuan dari UU Cipta Kerja tercapai maka akan memberikan efek yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, iklim investasi kondusif dan lapangan kerja meningkat.
Namun, UU Cipta Kerja cukup mendapatkan pertentangan dari masyarakat mulai dari kalangan mahasiswa, aktivis, akademisi, maupun politisi.
Beberapa resistensi tersebut terjadi dikarenakan banyak hal yang dianggap mencederai masyarakat. Secara formil pembuatan UU Cipta Kerja cenderung otoriter karena terkesan tertutup dan minim partisipasi dari masyarakat.
Namun, Omnibus Law juga mengatur bahwa pengusaha harus memberikan tunjangan yang setara dengan upah yang ditentukan. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong pengusaha untuk memberikan upah yang lebih tinggi.
C. Urgensi Omnibus Law
Omnibus Law dianggap sangat urgent untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia. Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar, namun masih terkendala oleh regulasi yang kompleks dan birokrasi yang lambat.
Omnibus Law diharapkan dapat mengurangi regulasi yang kompleks dan mempercepat proses perizinan. Hal ini dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global dan menarik investasi asing yang lebih banyak. Terdapat opini beragam terkait manfaat, risiko, dan dampak jangka panjang UU Omnibus Law Cipta Kerja terhadap berbagai aspek, termasuk perlindungan tenaga kerja, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang dampak sebenarnya dari UU ini terhadap perekonomian dan masyarakat Indonesia.
Beberapa urgensi yang dikaitkan dengan UU tersebut adalah:
Penarikan investasi: UU Omnibus Law Cipta Kerja diharapkan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan menyederhanakan proses perizinan, mengurangi birokrasi, dan meningkatkan kepastian hukum. Dengan peningkatan kepercayaan investor, diharapkan akan ada peningkatan arus investasi yang berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Peningkatan efisiensi dan produktivitas: UU ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha dengan mengurangi regulasi yang menghambat serta menyederhanakan prosedur bisnis. Diharapkan bahwa dengan mengurangi beban administrasi dan birokrasi, perusahaan dapat lebih fokus pada kegiatan inti bisnis mereka dan mengoptimalkan daya saing.
Penyesuaian ketenagakerjaan: UU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki ketentuan yang menargetkan penyesuaian dalam bidang ketenagakerjaan. Fleksibilitas dalam hal jam kerja, perpanjangan masa percobaan, dan kemudahan pemutusan hubungan kerja diharapkan dapat memfasilitasi adaptasi perusahaan terhadap perubahan pasar dan kebutuhan bisnis yang cepat.
Penyederhanaan regulasi dan perizinan: UU ini bertujuan untuk menyederhanakan dan mengintegrasikan berbagai regulasi dan perizinan yang terkait dengan berbagai sektor ekonomi. Diharapkan bahwa dengan adanya proses perizinan yang lebih efisien dan terpadu, bisnis dapat beroperasi dengan lebih mudah dan mengurangi biaya administrasi.
Peningkatan perlindungan investasi: UU Omnibus Law Cipta Kerja berupaya memperkuat perlindungan investasi dengan memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan kepemilikan intelektual, dan kemudahan akses terhadap lahan untuk kegiatan usaha. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong investasi jangka panjang di Indonesia.
Problematika dari UU Cipta Lapangan Kerja yang bermetode Omnibus law ini adalah kemudahan perizinan, menghapus dan mengubah beberapa pasal dan ayat yang ada pada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 27Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan dan UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang pada intinya adalah pengalihan sebagian besar kewenangan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten dan kota pada satu pintu yaitu pemerintah pusat.
UU Cipta Lapangan Kerja yang bermetode Omnibus law ini dengan 1028 halaman setelah disahkan secara otomatis UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka 30 tidak lagi berlaku atau dinyatakan Pasal tersebut telah di hapus sehingga tidak ada lagi wilayah-wilayah strategis Pedesaan, Kabupaten mapun Provinsi yang berkaitan dengan Kawasan strategis ekonomi, sosial, budaya, atau lingkungan. Lebih urgen dari UU Cipta Kerja ini adalah hak Masyarakat Adat berkaitan dengan hak pengelolaan sumberdaya alam.
Dengan perkembangan dinamika politik hukum nasional maka ditegaskan secara komprehensif dan eksplisit pada hasil amandemen UUD 1945 saat ini yang dinormakan pada ketentuan Pasal 18B ayat (2) bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pengakuan secara konstitusional sebagaimana yang ditegaskan pada ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Memberikan suatu ligitimasi yang sangat determinan kepada masyarakat hukum adat yang berda pada suatu wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan secara konstitusional ini tentu sangat berkonsekuensi jika hak- hak masyarakat dipersempit (Imperatif) oleh berbagai peraturan Perundang-undang organik.
D. Implementasi Omnibus Law
Dalam mengimplementasikan UU Omnibus Law dalam manajemen SDM, penting bagi perusahaan untuk memahami dan mematuhi ketentuan hukum yang terkait. Perusahaan juga perlu melakukan kajian dampak dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat, termasuk karyawan, untuk memastikan implementasi yang adil dan sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan SDM yang baik.
Komunikasi yang efektif dan keterlibatan karyawan dalam proses perubahan juga merupakan faktor penting untuk meminimalkan resistensi dan memastikan keberhasilan implementasi UU Omnibus Law dalam manajemen SDM. Implementasi Omnibus Law pada manajemen sumber daya manusia dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1. Meningkatkan Keterampilan dan Kompetensi SDM
Omnibus Law dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia. Namun, untuk dapat memanfaatkan peluang ini, perlu adanya keterampilan dan kompetensi yang memadai dari sumber daya manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelatihan dan pengembangan keterampilan dan kompetensi SDM agar dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja yang semakin kompleks.
2. Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja
Omnibus Law mengatur bahwa pengusaha harus memberikan tunjangan yang setara dengan upah yang ditentukan. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong pengusaha untuk memberikan upah yang lebih tinggi. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
3. Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Regulasi
Omnibus Law mengatur bahwa perjanjian kerja harus memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dapat meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi dan mengurangi sengketa antara pekerja dan pengusaha. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
4. Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas
Omnibus Law dapat mempercepat proses perizinan dan mengurangi regulasi yang kompleks. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kesimpulan
Omnibus Law merupakan undang-undang yang kontroversial karena beberapa pasalnya dianggap merugikan pekerja dan lingkungan. Namun, Omnibus Law juga diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia.
Implementasi Omnibus Law pada manajemen sumber daya manusia dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan dan kompetensi SDM, meningkatkan kesejahteraan pekerja, meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi, dan meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Omnibus Law dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, perlu dilakukan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah dan memastikan bahwa Omnibus Law tidak merugikan pekerja dan lingkungan.
Penting untuk dicatat bahwa manfaat implementasi UU Omnibus Law dalam manajemen SDM ini masih harus dinilai secara menyeluruh dan tergantung pada konteks dan pelaksanaan yang tepat. Dampak dan manfaatnya mungkin bervariasi antara perusahaan dan sektor industri tertentu. Evaluasi dan pengawasan terus-menerus diperlukan untuk memastikan manfaat yang optimal bagi perusahaan dan tenaga kerja. [CKZ]