DI KABUPATEN NIAS UTARA, anggaran bukan soal kekurangan uang, melainkan kekeliruan arah. Anggaran daerah terus membengkak, tapi rakyat tetap mengantri di Fasilitas Kesehatan yang setengah jadi, berjalan kaki di jalanan tanah yang tak kunjung diaspal, dan menyekolahkan anak di ruang kelas dengan fasilitas tak memadai.
Semua ini terjadi di tengah jargon “Value for Money” (VFM) yang terdengar megah di ruang rapat, tapi tak berjejak di desa-desa seperti Ononazara.
Baca Juga:
Guru Honorer di Nias Utara Tersangka Kasus Pencabulan Anak Tetangganya Tidak Ditahan, Polisi: Wajib Lapor
Konsep Value for Money menekankan tiga prinsip utama : Ekonomi, Efisiensi, dan Efektivitas. Namun, realitas di Nias Utara justru memperlihatkan antitesisnya. Tata kelola yang rapuh, Pengawasan yang lemah, dan Akuntabilitas yang minim menjadi penyakit lama yang terus dipelihara.
Alih-alih memberi nilai tambah bagi publik, belanja daerah lebih mirip proyek elite untuk mempercantik citra tiap menjelang tahun politik.
Temuan BPK
Baca Juga:
Guru Honorer di Nias Utara Diduga Cabuli Anak Tetangganya Sudah Ditetapkan Jadi Tersangka
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023 menjadi bukti sahih. Terdapat kelebihan pembayaran perjalanan dinas hingga Rp.1,28 Miliar. Ini bukan sekadar kekeliruan administrasi, tapi gambaran dari budaya birokrasi yang longgar terhadap pertanggungjawaban.
Tak berhenti di situ, BPK juga mencatat ketidaksesuaian kontrak pada proyek pembangunan jalan dan gedung senilai lebih dari Rp.3 Miliar. Dana sebesar ini menguap tanpa manfaat yang nyata bagi warga.
Dalam tata kelola keuangan daerah, keseimbangan struktur belanja adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dengan tegas mengatur agar belanja daerah terbagi proporsional antara belanja operasional, belanja modal, dan belanja transfer.