Namun, temuan BPK tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60 Persen belanja Nias Utara justru tersedot untuk membayar belanja Pegawai. Belanja modal yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur dasar dan meningkatkan layanan publik, hanya kebagian porsi kecil.
Kondisi ini mengindikasikan ketimpangan prioritas. Pemerintah lebih sibuk memelihara mesin birokrasi ketimbang membangun jembatan, jalan, atau fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat. Bahkan saat anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan tercatat meningkat secara nominal, kenyataannya tetap jauh dari harapan.
Baca Juga:
Depresi, Pria Paruh Baya di Nias Utara Nekat Bunuh Diri dengan Tusuk Leher Sendiri
BPK mencatat banyak proyek yang tidak sesuai volume dan spesifikasi teknis, seperti pembangunan Laboratorium Sekolah dan Fasilitas Kesehatan. Ini adalah sinyal bahwa Mandatory Spending sebagaimana diamanatkan UU Nomor 1 Tahun 2022 belum berhasil menjamin kualitas layanan yang memadai.
Ketimpangan ini makin terlihat jelas ketika kita menengok fakta di lapangan.
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tafaeri yang masih berstatus tipe D Pratama, keterbatasan fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi cerita sehari-hari. Padahal, rumah sakit ini adalah harapan utama warga dalam mengakses layanan kesehatan.
40 Persen Jalan Belum Diaspal
Baca Juga:
Update Kasus Korupsi DED Kawasan Wisata di Nias Utara: Satu Orang Lagi Rekanan Menyerahkan Diri
Ditambah lagi, lebih dari 40% jalan di Kabupaten Nias Utara belum beraspal. Hal ini membuat masyarakat di daerah terpencil kesulitan mengakses pelayanan dasar seperti Kesehatan dan Pendidikan. Apa artinya dana Miliaran jika akses ke Pelayanan Publik justru ditutup oleh lumpur?
Pola yang berulang setiap tahun memperlihatkan bahwa problem utamanya bukan sekadar teknis, melainkan politik anggaran yang berakar pada budaya patronase. Setiap kali menjelang tahun politik, proyek-proyek besar bermunculan tanpa disertai analisis kebutuhan yang memadai.
Hanya Membangun Panggung Politik