Oleh: Delipiter Lase, SE., M.Pd (Plh. Rektor UNIAS)
LEBIH dari dua dekade sejak Reformasi 1998, desentralisasi menjadi warisan berharga bagi tata kelola pemerintahan Indonesia.
Baca Juga:
Mendagri Sebut Program Stunting Ada Rp10 miliar, Tapi Sampai ke Rakyat Hanya Rp2 miliar
Sentralisasi Kembali Mengintai
Namun, tren kebijakan nasional kembali menunjukkan kecenderungan menuju sentralisasi, mengancam otonomi daerah yang selama ini menjadi fondasi demokrasi lokal.
Desentralisasi Tonggak Reformasi
Baca Juga:
PKN TK II ke Serang Banten, Tapsel Utus 4 Pimpinan Perangkat Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tonggak penting dalam mewujudkan desentralisasi. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa "pemerintahan daerah diselenggarakan berdasarkan asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip mandiri dan bertanggung jawab".
Desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi daerah mengelola urusan pemerintahan sesuai potensi dan kebutuhan lokal.
Akan tetapi, semangat desentralisasi ini mulai pudar. Kebijakan nasional yang semakin dominan membuat ruang gerak daerah terbatas.
Dua kebijakan utama yang menjadi sorotan adalah rencana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan klaster administratif dalam RUU Cipta Kerja.
Resentralisasi Kebijakan Strategis
Rencana revisi UU ASN tahun 2025 menunjukkan kecenderungan baru: pemerintah pusat berencana menarik wewenang pengangkatan dan mutasi pejabat eselon II di daerah, yang sebelumnya ditetapkan oleh kepala daerah.
Dampaknya signifikan: pengurangan akuntabilitas lokal dan potensi konflik antara pusat-daerah karena penunjukan tanpa pertimbangan kebutuhan lokal.
Lebih jauh, klaster administratif RUU Cipta Kerja mempersempit ruang kebijakan daerah, terutama dalam regulasi perizinan. Hal ini kontraproduktif terhadap nilai-nilai desentralisasi yang selama ini diemban.
Sentralisasi Membahayakan?
Pertama, mandeknya inovasi daerah. Ketika strategi pembangunan lokal hanya sekadar implementasi program pusat, daerah kehilangan ruang untuk menciptakan kebijakan berbasis kearifan lokal dan potensi uniknya.
Kedua, kepemimpinan lokal tereduksi. Kepala daerah menjadi semata administrator birokrasi, bukan visioner yang merancang arah pembangunan sesuai mandat rakyat.
Ketiga, kesenjangan meningkat. Kebijakan seragam dan top-down berisiko mengabaikan kesenjangan antarwilayah, terutama daerah tertinggal (3T).
Menjaga dan Memperkuat Desentralisasi
Desentralisasi tidak boleh hanya menjadi simbol retoris. Pemerintah pusat harus kembali menegaskan posisinya sebagai fasilitator, bukan dominator. Reformasi manajemen ASN dan sistem perizinan perlu disusun dengan prinsip akuntabilitas lokal dan fleksibilitas yurisdiksi daerah.
Kebijakan seperti "penunjukan langsung pejabat daerah oleh pusat" tidak hanya melemahkan asas Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, tetapi juga bertolak belakang dengan ruh desentralisasi—kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan birokrasi terpusat.
Desentralisasi Berarti Kepercayaan
Sentralisasi demi efisiensi atau pengendalian berlebih tidak bisa menjadi alasan untuk mematikan hak daerah mengurus dirinya sendiri. Desentralisasi adalah warisan demokrasi dan alat pemberdayaan masyarakat lokal. Jika dibiarkan memudar, maka bukan hanya otonomi yang hilang, tetapi juga harapan bahwa daerah mampu menjadi tuan di negerinya.
Menurut Prof. Bambang Susantono, Pakar Kebijakan Publik: Desentralisasi yang berhasil membutuhkan keseimbangan antara otonomi dan akuntabilitas. Ketika pusat terlalu banyak mengatur, maka kita kembali ke era pra-reformasi. [CKZ]