Richi menerangkan jika penerapan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Di mana lanjut dia, terdapat beberapa syarat syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkara dapat dilakukan penghentian penuntutannya yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda atau dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun.
Baca Juga:
Status Tersangka Bos Pallubasa Kasus Kecelakaan Maut Dicabut Polisi
Dan tindak pidana dilakukan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp. 2,5 juta.
"Jadi apabila syarat syarat tersebut terpenuhi, maka Jaksa Penuntut Umum akan bertindak selaku jaksa fasilitator mengundang atau memanggil tersangka dan korban serta tokoh masyarakat untuk memfasilitasi perdamaian",
"Tujuannya bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula kepada korban dengan tidak mengedepankan pembalasan," jelasnya.
Baca Juga:
Dugaan Penggelapan Rp6,9 Miliar, Polisi Siap Mediasi Tiko dan Mantan Istri
Ia menambahkan bahwa upaya yang dilakukan ini selaras dengan adanya kebijakan Jaksa Agung dalam menjawab keresahan masyarakat tentang hukum tajam kebawah, namun tumpul ke atas,
"Pesan Jaka Agung yang mengatakan rasa keadilan itu tidak ada di dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani jaksa," pungkasnya. [CKZ]