WahanaNews-Nias | Jaringan teroris ISIS diduga masih hidup di Indonesia. Kelompok ini mengubah pola gerakan terorisme. Menyelami media sosial untuk menyebarkan propaganda.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengungkapkan cara-cara rekrutmen teroris yang di media sosial yang perlu diwaspadai. Menurutnya, kelompok teroris dari afiliasi ISIS dan Al-Qaeda memiliki perbedaan dan persamaan dalam pola rekrutmen.
Baca Juga:
2 Terduga Teroris Ditangkap Densus 88 di Bekasi
Dia mengungkapkan, kelompok Jemaah Ansharut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS memiliki pola jaringan membentuk grup-grup keluarga di medsos. Kemudian melebar ke grup-grup yang lebih luas lagi.
"Dan kemudian sampai kepada grup yang bersifat terbuka untuk melakukan pembahasan dan diskusi tentang masalah-masalah Islam dan kemudian diarahkan menjadi rekrutmen," katanya lewat pesan tertulis, Selasa (22/3).
Sedangkan, kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda sangat menghindari pola pola rekrutmen melalui media sosial. Jikapun ada, biasanya dilakukan dengan cara sangat privat, artinya komunikasi tidak melalui grup-grup melainkan langsung jaringan pribadi atau japri.
Baca Juga:
Densus 88 Gagalkan Teror Besar di Singapura,Tersangka Utama Ditangkap di Gorontalo
"Dan kebanyakan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda ini membentuk grup-grup kajian kecil yang sifatnya sangat tertutup," terangnya.
Sementara, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid mengatakan, cara mudah untuk terhindar dari rekrutmen teroris di medsos adalah dengan unfollow akun-akun penceramah provokatif dengan sikap anti Pancasila.
"Cara mudah dan efektif dengan jangan mengikuti (unfollow) oknum penceramah dengan ciri dan indikasi seperti di atas," katanya, melansir wahananews.co.
Dia menjelaskan, ciri ciri para oknum penceramah terindikasi intoleran dan radikal antara lain pertama, mengajarkan sikap anti Pancasila dan pro ideologi transnasional dalam konteks ini ideologi khilafah menurut versi mereka.
Kedua, mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan terhadap mereka yang berbeda baik beda agama, paham, maupun beda kelompok, bahkan sesama agama pun dikafir-kafirkan.
Kemudian, mereka mengajarkan sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan, intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman dan pluralitas yang menjadi sunatullah.
Selain itu, mengajarkan sikap kebencian ataupun anti pemerintahan yang sah. Anti yang dimaksud bukan berarti oposisi dan bukan berarti kritis.
Menurut dia, di era demokrasi, oposisi yang konstruktif untuk check and balancing boleh dilakukan. Sikap kritis pun wajib sebagai amalan amar makruf nahi mungkar.
"Anti di sini adalah sikap membenci dengan membangun distrust ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, pemerintahan yang sah dengan narasi sebaran hoaks, hatespeech konten konten provokatif adu domba, fitnah dan sebagainya," jelasnya.
Wahid mengungkapkan, sejatinya radikalisme adalah gerakan politik dengan memanipulasi, mendistorsi agama untuk kepemimpinan politik kekuasaan. Yang pada ujungnya, mengganti ideologi negara Pancasila dengan khilafah dengan versi mereka dan mengganti dengan sistem agama.
"Dan biasanya mereka anti terhadap budaya maupun kearifan lokal maupun keagamaan," ucap Ahmad.
Dia mengingatkan, paham radikalisme berpotensi terhadap setiap individu manusia. Sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apa pun karena tak ada satupun agama yang membenarkannya.
"Kita semuanya harus hati hati, harus waspada untuk mengundang atau memilih penceramah, kita harus mengundang penceramah yang menyejukkan, mempersatukan, mendamaikan, kemudian mengajarkan akhlakul karimah, cinta tanah air dan bangsa," imbaunya.
"Serta narasi narasi toleransi maupun rahmatan lil alamin dan kita haris militan dalam melawan sebaran fitnah, hoaks, adu domba dan provokatif maupun hatespeech," tutupnya. [CKZ]