Selain itu, pemerintah kata dia juga masih berupaya merampungkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) beserta petunjuk teknis pembelian Pertalite selesai pekan ini. Aturan tersebut nantinya akan menjadi dasar kebijakan pembatasan pembelian BBM Pertalite.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto sebelumnya khawatir rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini tengah digulirkan oleh pemerintah dapat berdampak pada daya beli masyarakat di tengah pemulihan ekonomi. Hal tersebut menyusul sikap Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang tidak memberikan rekomendasi penambahan kuota Pertalite dan Solar untuk tahun ini.
Baca Juga:
Ultimatum Keras Setelah Kekalahan Telak Timnas dari Jepang, Erick Thohir Ancam Mundur dari PSSI
Menurut Sugeng pemerintah perlu mempertimbangkan ulang rencana kenaikkan harga BBM. Mengingat tanpa kenaikan saja, dampak akibat pandemi covid-19 sudah luar cukup biasa bagi perekonomian RI.
"Sejauh ini komisi VII tetap memperlihatkan dan fokus bagaimana kemampuan daya beli masyarakat. Komisi VII sejujurnya takut sekali kalau BBM naik dan listrik akan mempengaruhi harga barang dan jasa yang luar biasa naik, karena tanpa kenaikan harga BBM saja kita sudah merambat naik, itu yang harus kita tekankan," ujar Sugeng sebelum Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD Tahun 2022 di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Senin (16/08/2022).
Alih-alih untuk menaikkan harga BBM, Sugeng lebih setuju pemerintah mengimplementasikan segera kebijakan pembatasan pembelian BBM Pertalite maupun Solar subsidi. Misalnya untuk BBM jenis Pertalite hanya diperuntukkan untuk transportasi umum seperti angkot, kendaraan roda dua, kemudian untuk Solar diperuntukkan untuk angkutan truk logistik.
Baca Juga:
Menteri BUMN Angkat Kembali Darmawan Prasodjo sebagai Dirut PT PLN
"Karena solar subsidinya tinggi sekali, dijual Rp 5.500 per liter padahal biaya produksi Rp 15.000, Pertalite dijual Rp 7.650 harga keekonomiannya Rp 17.000 ini memang terjadi kesenjangan yang luiar biasa maka pemakaian secara volume harus tepat sasaran, banyak metode agar tepat sasaran, subsidi digunakan untuk masyarakat tidak mampu dan industri kecil dan menengah," kata dia. [tum/CKZ]