Redenominasi dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil, dengan menyesuaikan nominal uang dan harga barang secara proporsional, sementara sanering dilakukan saat krisis ekonomi dengan memotong nilai uang secara drastis tanpa penyesuaian harga barang dan jasa.
Contoh sanering pernah terjadi di Indonesia pada 1965 ketika inflasi melonjak hingga 650 persen per tahun, menyebabkan daya beli masyarakat jatuh drastis.
Baca Juga:
Redenominasi Rupiah, Airlangga Hartarto: Belum Ada Rencana Matang
Redenominasi justru dirancang untuk menjaga stabilitas dan daya beli dengan proses bertahap dan sosialisasi yang matang.
Dampak positif redenominasi di antaranya penyederhanaan perhitungan transaksi, peningkatan efisiensi sistem keuangan, dan kemudahan pembacaan laporan akuntansi.
Namun di sisi lain, tantangan yang dihadapi juga tidak kecil, seperti biaya besar untuk mencetak dan mendistribusikan uang baru serta risiko inflasi terselubung akibat pembulatan harga oleh pedagang.
Baca Juga:
Prediksi Rupiah Menguat Jelang Pertemuan Trump dan Xi Jinping
Jika kebijakan ini diterapkan dalam kondisi inflasi tinggi, dikhawatirkan dapat memicu gejolak harga dan ketidakpercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang stabil dengan inflasi rendah, idealnya di sekitar 3 persen, serta kesiapan publik melalui sosialisasi yang panjang dan menyeluruh.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]