Ia mengatakan bahwa bukti ilmiah tidak hanya memperkuat laporan pidana, tetapi juga memberi kepastian hukum bagi pihak yang dirugikan.
“Tes DNA adalah alat objektif yang membantu aparat penegak hukum menindaklanjuti laporan pidana. Proses hukum harus berjalan adil dan akurat agar keadilan bagi pihak yang dirugikan dapat ditegakkan,” ujarnya.
Baca Juga:
Waspada! Sembilan Produk Ini Dinyatakan Mengandung Babi oleh BPOM dan BPJPH
Selain itu, ia juga menyoroti aspek prosedural dalam penanganan kasus ini. Menurutnya, Penyidik harus tetap memeriksa semua bukti pendukung lain, termasuk dokumen komunikasi, keterangan saksi, dan rekaman publikasi klaim palsu, untuk memastikan proses pidana berjalan sesuai ketentuan hukum.
“Dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu, penyidik tidak bisa hanya mengandalkan satu bukti. Keseluruhan fakta harus dikaji agar penerapan hukum akurat dan tidak menimbulkan kontroversi,” jelasnya.
Hasil tes DNA tersebut dapat menjadi dasar untuk menolak potensi pembelaan dari pihak terlapor jika mencoba mengalihkan isu ke hal-hal tidak relevan.
Baca Juga:
Keluarga Desak TNI AL Tes DNA Sperma di Tubuh Juwita, Ada Dugaan Pelaku Lebih dari Satu
“Bukti ilmiah ini akan menjadi landasan kuat bagi Penyidik untuk menetapkan langkah hukum berikutnya, termasuk kemungkinan penetapan tersangka. Ini menunjukkan pentingnya data objektif dalam mempercepat penanganan kasus pidana,” ujarnya.
Namun, kata Yasaro, prinsip fair trial tidak hanya melindungi hak-hak pihak yang dilaporkan, tetapi juga menjaga legitimasi keputusan hukum di mata publik.
“Menegakkan keadilan berarti seluruh bukti, termasuk tes DNA, dinilai secara komprehensif. Ini penting agar putusan sah secara hukum dan dapat diterima secara sosial,” imbuhnya.