NIAS.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan istilah “Pemerkosaan Massal” dalam kerusuhan Mei 1998 kembali membuka luka sejarah yang belum tuntas. Peristiwa ini adalah salah satu bab tergelap dalam sejarah reformasi yang menyisakan trauma bagi banyak warga, khususnya perempuan Tionghoa.
Di tengah upaya pemerintah menata ulang narasi sejarah nasional, komentar itu memicu kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Praktisi Hukum asal Nias, Fransiskus Lature. Ia menilai pernyataan Fadli sebagai kekeliruan hukum dan bentuk kekerasan simbolik terhadap para penyintas.
Baca Juga:
Praktisi Hukum Dukung Gubernur Bengkulu Terapkan Retreat Pejabat dan Kepala Desa
"Ini bukan sekadar salah narasi. Ini bentuk sesat berpikir yang berbahaya bila datang dari seorang pejabat negara. Dalam logika hukum, trauma dan diamnya korban tidak bisa ditafsirkan sebagai ketiadaan kejahatan," kata Fransiskus kepada WAHANANEWS.CO, Rabu, (19/6/2025).
Fadli Zon, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kebudayaan, menyatakan keraguan terhadap istilah “Pemerkosaan Massal” yang digunakan untuk menggambarkan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998.
Menurutnya, istilah itu tidak memiliki dasar bukti yang konkret dan bisa menyesatkan jika tidak ditelusuri secara akademik dan hukum.
Baca Juga:
Yoses Telaumbanua Kecam Vonis Bebas Ronal Tanur: Janggal dan Melanggar Prinsip Imparsialitas
Pernyataan itu langsung menuai kritik dari banyak pihak. Komnas Perempuan, Amnesty International Indonesia, KontraS, Setara Institute, dan aktivis perempuan menyebut ucapan Fadli sebagai bentuk penyangkalan atas penderitaan korban dan pengaburan atas fakta sejarah yang telah diakui secara resmi oleh negara.
Fransiskus menyatakan bahwa sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kebudayaan dan sejarah, Fadli seharusnya menjaga memori kolektif bangsa, bukan meragukannya.
Ia menyoroti pernyataan Fadli yang menyebut istilah "pemerkosaan massal Mei 1998" sebagai sesuatu yang masih perlu ditinjau ulang karena dianggap tidak memiliki bukti kuat.