Fransiskus mengingatkan bahwa laporan TGPF 1998, pidato Presiden B.J. Habibie, dan pembentukan Komnas Perempuan merupakan bentuk pengakuan negara terhadap kekerasan seksual yang terjadi saat itu.
“Dalam sistem hukum pidana modern dan hukum HAM internasional, kekerasan seksual yang terjadi secara sistematis atau meluas dalam situasi kerusuhan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Negara tidak boleh menutup-nutupi atau mendistorsi konteksnya,” ujarnya.
Baca Juga:
Praktisi Hukum Dukung Gubernur Bengkulu Terapkan Retreat Pejabat dan Kepala Desa
Fransiskus menambahkan, banyak korban kekerasan seksual enggan melapor bukan karena peristiwa itu tidak terjadi, melainkan karena trauma, ketakutan terhadap stigma, serta absennya jaminan perlindungan. Menyandarkan narasi sejarah hanya pada prosedur hukum pidana konvensional adalah penyempitan yang menyesatkan.
“Ketika negara menuntut korban untuk bersuara di tengah luka dan tanpa perlindungan, lalu menggunakan diam mereka sebagai dalih bahwa kejahatan itu tidak ada, itu bukan saja keliru. Itu pengkhianatan terhadap hukum dan keadilan,” tegasnya.
Ia juga menilai, pernyataan Fadli berpotensi membatalkan kerja panjang para aktivis dan lembaga yang memperjuangkan keadilan bagi korban, khususnya perempuan Tionghoa yang telah lama menjadi kelompok rentan.
Baca Juga:
Yoses Telaumbanua Kecam Vonis Bebas Ronal Tanur: Janggal dan Melanggar Prinsip Imparsialitas
"Jika narasi semacam ini terus diucapkan oleh pejabat negara, maka kita sedang mencabut ingatan bangsa secara perlahan," katanya.
Dikutip dari Tempo, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta 1998 mencatat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan. Meski banyak korban memilih bungkam karena trauma, negara mengakui fakta kekerasan ini. Presiden Habibie menyatakan tragedi ini sebagai duka nasional yang harus diusut dan dipulihkan.
Menanggapi dinamika ini, Fransiskus Lature menekankan pentingnya integritas sejarah dalam kebijakan kebudayaan. Ia mengatakan hukum tidak boleh menjadi alat pembenaran bagi pelupa sejarah.