Dua kebijakan utama yang menjadi sorotan adalah rencana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan klaster administratif dalam RUU Cipta Kerja.
Resentralisasi Kebijakan Strategis
Baca Juga:
Mendagri Sebut Program Stunting Ada Rp10 miliar, Tapi Sampai ke Rakyat Hanya Rp2 miliar
Rencana revisi UU ASN tahun 2025 menunjukkan kecenderungan baru: pemerintah pusat berencana menarik wewenang pengangkatan dan mutasi pejabat eselon II di daerah, yang sebelumnya ditetapkan oleh kepala daerah.
Dampaknya signifikan: pengurangan akuntabilitas lokal dan potensi konflik antara pusat-daerah karena penunjukan tanpa pertimbangan kebutuhan lokal.
Lebih jauh, klaster administratif RUU Cipta Kerja mempersempit ruang kebijakan daerah, terutama dalam regulasi perizinan. Hal ini kontraproduktif terhadap nilai-nilai desentralisasi yang selama ini diemban.
Baca Juga:
PKN TK II ke Serang Banten, Tapsel Utus 4 Pimpinan Perangkat Daerah
Sentralisasi Membahayakan?
Pertama, mandeknya inovasi daerah. Ketika strategi pembangunan lokal hanya sekadar implementasi program pusat, daerah kehilangan ruang untuk menciptakan kebijakan berbasis kearifan lokal dan potensi uniknya.
Kedua, kepemimpinan lokal tereduksi. Kepala daerah menjadi semata administrator birokrasi, bukan visioner yang merancang arah pembangunan sesuai mandat rakyat.