Ketiga, kesenjangan meningkat. Kebijakan seragam dan top-down berisiko mengabaikan kesenjangan antarwilayah, terutama daerah tertinggal (3T).
Menjaga dan Memperkuat Desentralisasi
Baca Juga:
Kemendagri Ungkap Anggaran 493 Daerah Lemah, Gantungkan Nasib ke Pusat
Desentralisasi tidak boleh hanya menjadi simbol retoris. Pemerintah pusat harus kembali menegaskan posisinya sebagai fasilitator, bukan dominator. Reformasi manajemen ASN dan sistem perizinan perlu disusun dengan prinsip akuntabilitas lokal dan fleksibilitas yurisdiksi daerah.
Kebijakan seperti "penunjukan langsung pejabat daerah oleh pusat" tidak hanya melemahkan asas Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, tetapi juga bertolak belakang dengan ruh desentralisasi—kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan birokrasi terpusat.
Desentralisasi Berarti Kepercayaan
Baca Juga:
Atasi Polusi Udara, Dinas Lingkungan Hidup DKI Beri Pelatihan Uji Emisi Daerah Penyangga
Sentralisasi demi efisiensi atau pengendalian berlebih tidak bisa menjadi alasan untuk mematikan hak daerah mengurus dirinya sendiri. Desentralisasi adalah warisan demokrasi dan alat pemberdayaan masyarakat lokal. Jika dibiarkan memudar, maka bukan hanya otonomi yang hilang, tetapi juga harapan bahwa daerah mampu menjadi tuan di negerinya.
Menurut Prof. Bambang Susantono, Pakar Kebijakan Publik: Desentralisasi yang berhasil membutuhkan keseimbangan antara otonomi dan akuntabilitas. Ketika pusat terlalu banyak mengatur, maka kita kembali ke era pra-reformasi. [CKZ]