"Di masa lalu, atap rumah adat ini cukup awet, karena pemilik rumah memasak menggunakan kayu bakar di dalam rumah, yang asapnya bisa mengawetkan atap. Hari ini warga memasak menggunakan kompor gas, maka atap cepat busuk. Dengan biaya pemeliharaan yang besar itu, tidak semua orang sanggup untuk mempertahankan rumah adat miliknya," ujar Ketua Pokdarwis, Faduhusi Zebua,.
Habisnya Pembuat Rumah Adat
Baca Juga:
Sambangi DPC HIMNI, Walkot Sowa'a Laoli Ajak Bergandengan Tangan Bangun Gunungsitoli
Trie Utami dan rombongan juga mengunjungi rumah adat tertua di Desa Tumori yang diperkirakan berusia 150-200 tahun dan masih berdiri kokoh, milik keluarga dari Yurlinus Zebua, Kepala Dusun I Desa Tumori.
Pemilik rumah banyak menjelaskan tentang keunikan rumah adat tersebut, seperti tentang kayu-kayu rumah adat yang dirangkai tidak menggunakan paku, tapi menggunakan pasak, dan tiang utama rumah yang dari saat menebang pohonnya, tidak boleh menyentuh tanah sampai saat dipasang di rumah adat.
"Sayangnya hari ini di Gunungsitoli sudah tidak ada lagi orang yang sanggup membuat rumah adat, pengetahuan dan ketrampilan membuat rumah adat di Gunungsitoli sudah punah. Jadi walaupun misalnya ada uang untuk membangun rumah adat, tapi kini tidak ada lagi pembuatnya," papar Ketua Sanggar Seni Holy Teturia, Pariman Waruwu,.
Baca Juga:
Peringatan HPN 2024, Andhika Laoly Ajak Insan Pers Suarakan Kebenaran dan Kawal Demokrasi
"Penyelamatan dan pemanfaatan objek budaya memerlukan sinergi berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah desa-kota-provinsi-pusat, legislatif, para pelaku budaya, pelaku usaha, serta harus ditunjang oleh riset dan kajian akademik," ucap Wakil Ketua Perkumpulan Hidora, Bachtiar Djanan.
"Untuk itu kehadiran dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi sangat diperlukan. Saat ini kita berupaya mendorong lahirnya berbagai program penelitian dan pengabdian masyarakat berbasis lokus desa, untuk dilakukan oleh civitas akademik Universitas Nias, termasuk untuk di Desa Tumori ini," lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Trie Utami mengungkapkan Saat ini ia merasa berbahagia sekaligus sedih. Berbahagia karena mendapat kesempatan untuk melihat berbagai harta karun potensi budaya yang ada, sedih karena bisa membayangkan betapa beratnya mempertahankan dan melestarikan obyek budaya itu.